[caption id="attachment_134672" align="alignleft" width="300" caption="Ayam jago dan burung beo saya berakrab-ria. Foto: Severianus Endi"][/caption] BANYAK yang keberatan dengan hobi ini: memelihara burung. Betul, banyak pula yang mengatakan, memelihara burung tidak ber-perikeburungan. Burung yang seharusnya terbang lepas, tetapi dikurung. Versi aktivis lingkungan, memelihara burung sama dengan merusak keseimbangan ekosistem. Burung memiliki fungsi tersendiri di alam, di antaranya sebagai penyebar benih pepohonan. Jika satu jenis burung memakan buah pohon, ketika nantinya terbang ke areal lain sambil "buang hajat", maka aktivitas itu sangat berarti bagi alam. Hajat yang dibuangnya itu mengandung biji-bijian yang kelak tumbuh menjadi pohon. Demikianlah satu siklus sederhana betapa alam hutan dengan segenap isinya saling berkonstribusi. Pohon memberi burung makanan, burung membantu pohon menyebarkan bibitnya ke segenap penjuru hutan. Simbiosis yang indah sesungguhnya! Mohon maaf, saya termasuk satu di antara hobiis burung. Sejak tahun 2003-an, berarti sudah berlangsung 8 tahun hingga sekarang, saya menjadi penghobi burung. Artinya, memelihara burung yang benar-benar dilakukan sebagai suatu hobi, lengkap dengan tanggungjawab yang menyertainya. Memberi pakan secara teratur, menyediakan obat-obatan, sampai sangkar yang memadai. Juga cara merawat yang sesuai perunjuk para penghobi senior, saya jalani dengan ketelatenan yang tinggi. Mengapa? Tak hanya burung, sesekali saya juga memelihara ayam jago. Bedanya, suatu saat ayam jago bisa mempersembahkan pengabdian tertinggi pada majikannya, yakni mengurbankan dirinya dalam penggorengan atau panci untuk menjadi santapan keluarga. Lha kalau burung, tentu tidak. Saya merasa tenteram dengan hobi ini. Pulang dari bekerja dan kembali ke rumah, berbagai tingkah maupun kicauan burung-burung ini cukup menghibur. Pagi hari terasa begitu meruah dengan aneka suara yang mereka bunyikan. Ada yang bersiul-siul, ada yang berkata sepatah dua patah ucapan manusia, bahkan ada yang bisa menirukan suara kokok ayam. Tidak sekali dua kali, memang, saya mendapat teguran dari rekan-rekan yang tidak senang dengan hobi itu. Sejujurnya, hati saja juga gamang: antara terus menjalankan hobi itu atau berbalik arah, melepaskan mereka sehingga bisa hidup sebagaimana burung yang sebenar-benarnya. Saya gelisah! Dipelaskan? Ke mana? Apakah alam sekarang cukup aman untuk burung-burung ini hidup layak? Ah, tidak. Saya sangat tidak yakin jika dilepaskan, mereka bisa hidup sebagaimana burung-burung lain. Dari tiga burung yang saya miliki saat ini, satu di antaranya saya pelihara sejak bayi. Saya beli dari sebuat toko dengan harga yang lumayan. Pejam mata saja. Ini juga karena burung beo yang sebelumnya saya miliki telah dicolong maling. Kini beo yang saya pelihara sejak bayi itu sudah tumbuh besar, bisa menirukan aneka suara. Meski jinak, tetap saja dia saya pelihara dalam sangkar. Saya terhibur dengan aneka tingkah dan suaranya. Pun keluarga-keluarga saya, tampak senang melihat peliharaan ini. Dua lainnya burung jalak hitam, yang juga rajin berkicau. Soal makan, jangan ditanya, burung dari kelas jalak ini memang rakus sekaligus jorok. Kotoran mereka berhamburan hampir bersamaan dengan saat mereka menelan makanan. Satu di antara jalak itu pernah lepas. Sehari kemudian, eh, dia kembali. Mungkin karena kesulitan mencari makan di luar sana, sehingga dia "memutuskan" untuk masuk sangkar lagi. Sudahlah, mungkin memelihara burung juga menjadi bagian dari rekreasi. Meskipun hobi ini juga menunjukkan betapa pongahnya manusia, yang tega mengurung mahluk lain demi kesenangannya. Terpenting, saya tetap berusaha agar peliharaan-peliharaan itu tidak terabaikan. Selalu saya pastikan makanan mereka cukup dan perawatan memadai. SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H