[caption id="attachment_133313" align="alignleft" width="300" caption="Inilah polindes tempat Yusi bekerja. Bangunan yang sangat sederhana di desa terpencil. Foto: DOkumentasi Pribadi. "][/caption] DALAM kasus kelahiran yang lain, dia justru dibohongi oleh suami dari seorang ibu yang sedang melahirkan. Saat dia dijemput, sang suami mengatakan, istrinya sebentar lagi hendak melahirkan. Maka Yusi pun berangkat dengan tenang, setelah tentu saja mempersiapkan aneka peralatan yang dibutuhkan. Sesampainya di sana, dia kaget melihat orang begitu panik. "Yusi, ayo cepat bantu sini," teriak seorang dukun beranak, nenek-nenek yang memang sudah dikenalnya. "Kenapa buru-buru, kan katanya baru akan melahirkan," jawab Yusi apa adanya. Barulah diketahuinya dia telah dibohongi, sekan-akan persalinan belum berlangsung. Mungkin khawatir ditegur, kenapa setelah darurat baru memanggil dirinya, kenapa tidak sejak awal. "Saya terperangah, karena bayi ini juga lahir sunsang, kaki duluan keluar. Parahnya lagi, kedua kaki dan sebelah tangan sudah keluar, tetapi sebelah tangan lagi dan kepalanya masih di dalam, dan ini sudah berlangsung selama dua jam," kisah Yusi. Normalnya dalam waktu maksimal 8 menit, kepala bayi sudah harus keluar agar nyawanya tertolong. Yusi melakukan pemeriksaan untuk memastikan kondisi sang bayi malang itu, dan dia yakin bayi itu sudah tak bernyawa. Bagian tubuhnya yang sudah di luar terlihat pucat sekali. Setelah diperiksa, denyut jantungnya pun tak lagi terasa. Bagian bahu bayi yang masih berada di dalam lecet, barangkali karena sebelumnya sang dukun beranak berusaha menariknya. Setelah dibantu, akhirnya sang bayi yang sudah tak bernyawa itu lahir. Masih didengarnya beberapa orang bedebat, mengapa tadi ketika baru hendak melahirkan, tidak segera memanggil bidan saja. Kok malah memanggil dukun beranak? Mungkin peran dukun beranak masih dianggap yang paling dipercaya, ketimbang bidan yang dianggap masih muda dan bahkan belum pernah melahirkan anak. "Bayi itu meninggal bukan di tanganku, karena aku datang kondisinya memang sudah meninggal. Aku tidak ingin ada rasa bersalah, karena selama ini selalu berusaha mengingatkan mereka untuk rutin memeriksakan kehamilan," kata Yusi. Pengalaman horor lainnya juga dialami terkait peran dukun beranak. Seorang ibu melahirkan di desa terpencil, sekitar 2 jam jauhnya perjalanan naik sepeda motor menyusuri jalang-jalan tanah yang kecil ukurannya. Lagi-lagi, Yusi baru disusul setelah ibu itu dalam kondisi darurat. Sang bayi sendiri sudah lahir dengan bantuan dukun beranak, tetapi ari-arinya masih tertinggal di dalam. Yusi yang memang masih baru bertugas di pedalaman yang serba minim tenaga dan peralatan medis, perlu menenangkan diri terlebih dahulu. Ketika diperiksa, sang ibu sudah dalam kondisi sangat lemas, mata terkatup, denyut jantung lemah, dan pucat pasi. Pertolongan pertama, dia meminta orang meminumkan teh manis untuk sang itu, sebagai penambah tenaga. Sementara itu, dia berusaha memasangkan jarum infus ke lengan sang ibu, untuk memasok cairan ke tubuhnya yang memang kurus. Sekali tusuk ke nadi, darah tidak mengalir. Beberapa kali menusuk ke pembuluh darah di bagian lengan yang lain, juga sudah tak ada lagi darah mengalir. Akhirnya dengan jarum ukuran kecil yang seharusnya untuk bayi, Yusi mencoba menusukkannya ke pembuluh besar di tangan (dia menyebutkan istilah medisnya, tapi sulit saya ingat), dan seketika darah mulai mengalir, pelan namun pasti. Cairan infus bisa dimasukkan, dan pertolongan untuk mengeluarkan ari-ari pun bisa dilanjutkan. Syukurlah, sang bayi maupun ibunya tertolong, dan mereka hidup sehat hingga kini. "Segala perasaan berkecamuk saat itu. Ada rasa jengkel, karena sebelumnya sudah saya wanti-wanti agar meminta bantuan bidan untuk melahirkan, karena ibu ini dalam kondisi fisik tidak sehat benar. Saya baru dipanggil setelah kondisinya kritis," ujarnya. (Bersambung) SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H