Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Bidan Desa di Tengah Mitos Kampung (1)

24 September 2011   19:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:39 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133061" align="alignleft" width="300" caption="Yusi (kanan) sedang menerima pasien di polindesnya yang sempit dan sederhana. Foto: Dokumentasi Pribadi."][/caption] BAYI yang baru dilahirkan itu diam. Tidak menangis seperti layaknya persalinan normal. Beberapa orang sibuk mengambil cangkir kaleng dan mengisinya dengan kerikil. Kemudian cangkir itu digoyang-goyangkan, menimbulkan suara berisik di dekat sang ibu yang lemas usai melahirkan. Tetap saja sang bayi berdiam. Sang bidan muda usia yang membantu persalinan terheran-heran dengan "ritual" menggocangkan cangkir berisi kerikil itu. Kisah itu dituturkan adik bungsu saya, Yusi (23), yang menjalani profesinya sebagai bidan desa. Dia bekerja sebagai pegawai tidak tetap (PTT) di sebuah polindes yang berjarang hampir 20 kilometer dari ibu kota kecamatan, pedalaman Kalimantan Barat. Sejak tamat dari sebuah akademi kebidanan di Jakarta 3 tahun lalu, kini dia telah menjumpai aneka realita terkait ibu melahirkan di desa-desa pedalaman itu. Sebagai saudara tertua, saya harus bijak ketika dia curhat tentang beberapa pengalamannya di pelosok desa. Ada yang lucu, ada yang menegangkan, dan tak jarang ada di antara cerita yang luar biasa aneh. Saya kira sesekali dia memerlukan tempat untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Dan memang saya pun bertanya banyak hal, sehingga kami berdiskusi sambil terus membantu menguatkan semangatnya agar setia pada "sumpah profesi". Satu di antara hal yang menarik, terkait "mitos kampung" yang berkembang di seputar kelahiran. Peristiwa menggocangkan cangkir kaleng berisi kerikil, ternyata dipercaya untuk "mengagetkan" sang bayi yang lahir tanpa menangis. Yusi sempat kebingungan ketika ritual itu dilakukan. "Sudah, ini tidak perlu. Biar saya tangani," kisahnya. Cangkir kaleng disingkirkan, dia pun mengeluarkan alat penghisap untuk dipasangkan ke hidung dan mulut bayi. Sebab sebelumnya sang bayi sempat tertahan di dalam, sehingga kemungkinan ada cairan yang menganggu pernafasannya. Bayi belum juga menangis. Yusi mengambil tindakan lain. Diangkatnya bayi itu dengan memegang kedua belah kaki mungil yang masih merah itu, dengan posisi bayi menggantung dengan kepala di bawah. Pelan-pelan ditepuknya punggung sang bayi, seketika tangispun memecah. Kaki kecil sang bayi juga ditepuk, suara tangisan kian keras. Lega! "Saya ingin orang-orang itu pelan-pelan tak lagi percaya pada mitos. Bayi tidak menangis setelah dilahirkan, pasti ada sebabnya dan harus ditangani sesuai teori medis," ujar Yusi. Banyak istilah medis yang dia sebutkan, namun sedikit yang bisa saya ingat. Saya masih sangat terkesan dengan kisah-kisah ringan namun menarik untuk diteruskan. Ternyata, kasus bayi tidak menangis usai dilahirkan itu, menjadi tonggak penting perjalanan profesinya. Sebelum itu, horor melahirkan sang bayi menjadi kenangan tersendiri. Sebab, kala itu Yusi baru saja lulus pendidikan dan baru kembali ke kampung halaman. Proses kelahiran itu pun terjadi di sebuah desa yang lumayan jauh jaraknya. Lebih parah lagi, dia dipanggil dalam kondisi darurat! Para perawat dan bidan senior tidak bisa datang ke sana karena berbagai alasan dan kesibukan. Dikatakan darurat, karena saat dia datang, proses persalinan sudah mulai berlangsung. Gawatnya lagi, bayi lahir dalam kondisi kaki keluar lebih dahulu, yang dalam istilah kampung disebut "turun tangga". "Saya sempat shock. Saya pandangi sekeliling, belum satu wajahpun yang saya kenal. Mau minta bantuan siapa? Beda dengan saat kuliah, membantu persalinan di rumah sakit ditemani banyak rekan sesama calon bidan. Sekarang, apa boleh buat, hanya saya satu-satunya yang mereka harapkan," ucap Yusi. Saya mendengarkan dengan agak tegang. Ternyata, bulan-bulan terakhir kehamilan sang ibu, tidak lagi melakukann kontrol. Menurut Yusi, saat menempuh praktek saat perkuliahan, mereka dilarang membantu ibu melahirkan bayi dengan kondisi kaki yang duluan keluar. Mereka hanya diperkenankan menyaksikan, sambil menerima penjelasan. Dia membathin, kini tidak ada waktu dan teman untuk berdiskusi. Lokasi di kampung pedalaman yang masih sangat terbatas sarana kesehatan, membuat dia tak punya pilihan lain. "Saya yakin pertolongan Tuhan. Maka meski belum pernah punya pengalaman menolong persalinan dengan kondisi begini, saya harus yakin bisa," kisahnya. Sambil melahirkan, sang ibu masih sempat merepet mengomeli suaminya. Entah apa artinya, Yusi saat itu belum begitu paham bahasa daerah di desa itu yang memang berbeda dengan bahasa di kampungnya sendiri. Melalui perjuangan keras disertai perasaan was-was, syukurlah, persalinan berhasil. Meski awalnya, ketegangangan sekaligus kelucuan sempat terjadi, seperti "ritual" menggoncangkan cangkir kaleng berisi kerikil. Yusi pun berkesempatan untuk sedikit memberi pencerahan, bahwa pemeriksaan kehamilan sangat penting. Untuk kasus itu, pemeriksaan diperlukan untuk memastikan bagaimana kondisi bayi di dalam rahim. Jika kondisinya sudah diketahui pasti, maka tindakan medis lebih bisa dipersiapkan secara matang, bukan dadakan. Kelak, tetap saja dia menjumpai "saran dan nasehat" itu masih sering diabaikan. Tetap saja dia masih mendapat panggilan membantu persalinan dalam kondisi darurat, kritis, setelah dukun beranak yang lebih dulu dipanggil ternyata tak sanggup mengatasi masalah. (Bersambung) SEVERIANUS ENDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun