[caption id="attachment_118503" align="alignleft" width="300" caption="Para lemaku sedang menjalani ritual selobar berukupm, yang merupakan prosesi penghabisan dari pernikahan adat Dayak Simpakng. Foto: Severianus Endi"][/caption] DELAPAN lelaki berikat kepala duduk melingkar di ruang tengah. Di hadapan mereka terhidang berbagai sesaji yang tidak biasa.
Ada pelomak (ketan yang dimasak di dalam buluh), sayur umbut kelapa, tuak, daging babi, beras, peralatan adat seperti tepayan, kain, dan perhiasan kuno. Malam mulai menjelang, Senin (4/7/11), di ruang tengah sebuah rumah di Kompleks Parit Pangeran, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Suara pria berikat kepala itu sambung menyambung dalam bahasa Dayak Simpakng. Bahasa yang sulit dimengerti kaum muda, karena merupakan "sastra lisan" warisan nenek moyang, yang intinya sedang melakukan ritual salobar berukupm.
Ini ritual penghabisan dari seluruh rangkaian perkawinan adat menurut tradisi Dayak Simpakng di pedalaman Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Pasangan pengantin, Thomas Aleksander dan Lily Monaliza, sebelumnya telah diberkati dalam sakramen pernikahan di Gereja Katolik Santa Sisilia, Sungai Raya Dalam.
"Meski kita sudah hidup di era modern, adat istiadat tempat saya berasal tetap harus dijunjung tinggi. Saya ingin adat istiadat warisan nenek moyang tetap lestari, sesuai pepatah hidup di kandung adat, mati di kandung tanah," ujar Thomas yang juga anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Delapan pria berikat kepala itu disebut lemaku, yakni tokoh yang mengerti adat, sekaligus perwakilan kedua pengantin. Empat orang perwakilan pengantin pria, dan empat lainnya perwakilan pengantin perempuan.
Ritual salobar membicarakan kancing kolit atau kunci mati, sebagai pengikat kedua pengantin. Para lemaku menyepakati berbagai aturan dan hukum adat, sebagai usaha agar kedua mempelai tetap langgeng sampai maut memisahkan.
[caption id="attachment_118504" align="alignright" width="300" caption="Setalah dibangun, kemudian sensayo diberkati dalam tradisi Katolik. Sensayo memuat banyak simbol adat. Foto: Severianus Endi"]
"Itu sebabnya para lemaku menetapkan sejumlah aturan adat, dengan maksud pasangan ini langgeng hingga akhir hayat," ujar Sarneon.
Begitu ritual salobar tuntas, ungkapan kegembiraan diwujudkan dengan taboh ani-ani bapantun baparabasa, yakni dengan menghamburkan beras, sebagai tanda adat ini sah dan diketahui semua pihak.
Panitia pernikahan, Maran (42), menjelaskan, adat sabat-sabatan menurut tradisi Dayak Simpakng di antaranya bermakna pemberitahuan pada roh nenek moyang yang hingga saat ini diyakini tetap menjaga kehidupan anak cucunya.
"Adat tetap dipegang karena memberi rambu-rambu bagi pengantin. Jangankan untuk memulai hidup, saat kematian pun ritual adat harus dilaksanakan," ujar Maran.
Di antara prosesi adat, keluarga mendirikan sensayo di ruang tengah. Sensayo dibangun dengan kayu, tebu, pohon pisang, kemudian dilengkapi aneka hasil alam seperti buah-buahan, umbut kelapa, ketan, tuak, yang semuanya melambangkan makanan yang sudah ada sejak nenek moyang.
Pemberitahuan pada roh nenek moyang akan adanya keluarga baru, diwujudkan dengan adanya sebuah wadah bernama talapm penuata, yang berisi berbagai makanan khas tersebut. Pengantin juga menjalani ritual pibu pangantin. Bentuknya, pengantin duduk didampingi pendamping yang disebut pengintu 3 laki dan 3 perempuan.
Dua ekor ayam jantan dan betina dikibas-kibaskan, ini disebut mibu, untuk mengusir hal-hal jahat yang bisa menganggu kehidupan. Pengantin duduk di dekat sensayo dan menghadapi ke matahari terbit, sebagai lambang mereka akan memulai kehidupan baru. (*)
SEVERIANUS ENDI
* Versi yang sudah diedit dimuat di Harian Tribun Pontianak edisi Rabu, 6 Juli 2011 di rubrik Citizen Reporter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H