"Berhubung saya tidak pernah sekolah, saya tidak bisa berbahasa Indonesia," hanya satu kalimat itu yang masih kuingat, ketika berjumpa pertamakalinya dengan Mbah Maridjan. Kala itu, mungkin sekitar awal 1998, ketika saya dan rekan mahasiswa asal Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, berkunjung ke sana.
Saat itu kami memulai masa-masa awal pendidikan di Kota Gudeg. Ditemani rekan senior, A Alibata, kami sampai ke kediaman Mbah Maridjan di Desa Kinahrejo, Sleman, Yogyakarta. Tujuannga untuk rekreasi sekaligus mengenal alam Kaliurang, setelah menuntaskan semua urusan awal perkuliahan.
Aku belum mengenal sosok kuncen Merapi ini. Alibata yang mengajak kami ke sana, mengatakan, "Kita nanti menginap di rumah Mbah Maridjan." Tapi aku memang masih blank dan sama sekali belum pernah membaca atau mengetahui apa dan siapa gerangan Mbah Marijan.
Dalam rombongan itu, seingatku ada rekan lain seperti Rapinus Rais, VA Edyson, Kurnain, dan juga ada rekan mahasiswa yang sama-sama dari Ketapang. Perjalanan dengan bus kami tempuh, berbekal beberapa rol film untuk tustes kami. Rasa-rasanya, kamera digital belum sepopuler sekarang di era itu.
Turun di terminal Kaliurang, kami menyusuri semacam arena lintas alam. Suasana segar, alami, kicau burung di mana-mana. Entah tak lagi aku terlalu ingat untuk menceritakan rutenya, sampai kami tiba di sebuah rumah.
Ada beberapa sapi di dalam kandang, halamannya cukup luas dan bersih dari daun-daun kering. Juga ada sebuah bangunan bertuliskan "rescue". Di samping bangunan itulah kediaman Mbah Maridjan.
Kami pun bersalaman dan berkenalan, dan hanya kalimat Mbah Maridjan seperti ditulis di atas, yang bisa kuingat. Setelah itu, Alibata yang lebih senior dari kami dan bisa berbahasa kromo (Jawa halus) yang berbincang dengan Mbah. Sementara kami masih asyik mengagumi indahnya alam dan segarnya hawa.
Hari sudah mulai sore saat itu, dan kami dipersilakan beristirahat di ruangan cukup luas bertuliskan "rescue" di bagian depannya. Rupanya ruangan itu memang disediakan sebagai tempat bagi para pengungsi, jika aktivitas Gunung Merapi meningkat.
Agak di bagian belakang, ada beberapa kamar mandi. Airnya terasa sejuk menyegarkan kulit, yang kurasakan saat mandi. Mungkin air dari pegunungan, karena sejuknya khas.
Menjelang kami hendak tidur, mungkin sekitar pukul 7 atau 8 malam, Mbah Maridjan muncul membawa sebuah buku besar yang tebal, seperti biasa digunakan siswa yang belajar pembukuan atau akuntansi. Menurut senior kami, Alibata, Mbah Maridjan meminjam pulpen. Barangkali dia mencatat nama-nama kami yang malam itu menginap di sana. Saya tidak tahu siapa yang membantu mencatatkan, karena pengakuan Mbah tadi, dia tidak pernah sekolah.
Esok harinya kami bagun dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju kaki Merapi. Kami berpamitan dengan Mbah, yang juga bersiap-siap mengurus ternak sapinya. Pagi itu, seingatku, Mbah mengenakan celana pendek hitam, baju kaus, dan peci hitam yang belakangan kuketahui menjadi ciri khasnya. Kamu pun sempat berfoto bersama, dengan pose berjejer seperti orang berbaris memanjang ke samping. Kelak, seiring berkibarnya nama Mbah Maridjan, rekan Alibata pernah menanyakan, apakah saya masih menyimpan foto itu. Sayang sekali, karena kecerobohan barangkali, saya tak ingat lagi di mana menyimpan foto itu.Â
Kami berpamitan, dan Mbah mulai sibuk dengan sapinya. Kami pergi ke kaki Merapi, dan menikmati megahnya gunung yang kala itu terlihat menjulang di cerahnya langit, dengan tampuk yang tampak hendak terbelah. Seram sekaligus megas. sementara di bagian jurang yang dibatasi pagar, nun jauh di bawah sana, kami melihat orang-orang sibuk menambang pasir.
Rekreasi itu berlalu, dan sosok Mbah Marijan seakan terlupakan. Aku baru "ngeh" kemudian akan fenomenalnya sosok itu, ketika media gencar memberitakan Mbah seiring meningkatnya aktivitas Merapi di waktu-waktu berikutnya. Juga sosok itu muncul sebagai bintang di iklan minuman energi di televisi, yang membuat Mbah Maridjan populer sampai ke desa saya nun di pedalaman Kalimantan Barat.
Sampailah pada 26 Oktober lalu, kala Merapi memuntahkan awan panas, Mbah Maridjan ditemukan dalam kondisi mengenaskan, meninggal dalam posisi sujud akibat terpaan awan panas. Memori yang singkat ini kembali terputar dalam ingatan. Mbah Maridjan telah menjadi sosok fenomenal, tidak saja bagi masyarakat Yogyakarta, tapi, setahuku, juga untuk warga Kalbar. Terbukti, saat Mbah meninggal, orang-orang di Kalimantan Barat pun membicarakan beliau dan ikut bersedih dengan kematian yang dianggap terlalu tragis.
Melalui internet, saya segera membaca berita-berita terkini, satu di antaranya ditulis rekan saya Bramasto, yang sebelum bergabung di harian Tribun Jogja (kini dalam persiapan terbit), bersama-sama kami saat masa awal terbitnya Harian Tribun Pontianak. Bramasto sempat beberapa bulan bekerja di Tribun Pontianak, kemudian kembali ke tanah kelahirannya Yogyakarta.