Pandemi covid 19 yang dirasakan dunia sejak akhir tahun 2019 memang bukan perkara sepele. Selain menimbulkan banyak korban, menyebarkan ketakutan, melemahkan denyut nadi perekonomian, pandemi juga turut merubah kebiasaan dan gaya hidup orang banyak. Aktivitas sosial dibatasi, proses belajar mengajar dipindahkan ke rumah-rumah, bahkan kegiatan para pekerja juga dikerjakan di rumah saja. Pokoknya semua aktivitas diam di rumah seakan menjadi kunci keselamatan dari paparan virus corona ini.
Pandemi juga ternyata memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Misalnya betapa menabung saat ada dalam keleluasaan uang itu sangat penting. Betapa tidak, saat pandemi ini banyak kasus terjadi pada orang orang kaya dimana saat pendapatan bekurang di masa pandemi, mereka tidak bisa membayar cicilan barang barang mewah mereka yang ternyata hutang (kredit) semua. Ternyata banyak diantara mereka menghabiskan penghasilan bulanannya hanya untuk memenuhi life style ala borjuis sehingga lupa menabung.
Pandemi juga mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang terkait penampilan, rutinitas, ataupun tradisi semata adalah tidak ada artinya. Kesadaran ini muncul saat saya memandang rak sepatu yang dipenuhi dengan perangkat alas kaki yang berjejer. Beraneka model dan warna yang dibeli dengan alasan untuk dipakai di berbagai kesempatan, atau untuk digunakan pada hari hari yang berbeda. Kenyataannya saat pandemik, sepatu sepatu itu hanya bisa dibiarkan berdebu. Juga koleksi koleksi tas yang harganya selangit (yang pasti ini bukan tas saya), yang dibeli dengan dalih untuk menyesuaikan warna busana kita. Buat apa? (seringkali) buat memuaskan pandangan orang orang agar mencap diri kita modis. Nyatanya saat pandemi, saat kita di rumah saja, tas tas itu juga tidak berguna.
Saat pandemi, kita mungkin baru sempat merenungi, betapa banyak barang yang kita beli hanya karena keinginan, karena lapar mata, karena mengikuti trend semata, bukan benar benar karena fungsi dan manfaatnya. Pada akhirnya barang barang itu tidak berguna. Sebaiknya kesadaran ini juga muncul ketika kita mengingat banyak sekali "ritual", tradisi atau kebiasaan yang kita lakukan hanya untuk memenuhi rutinitas, tanpa makna, tanpa "ruh".
        Lihatlah saat bangsa Indonesia melewati hari raya dalam masa pandemi. Kita memilih di rumah saja demi kemashlahatan, biarlah tidak usah menjalani ritual mudik, yang penting silaturahminya terus berjalan, yang penting adalah rasa saling memaafkan dan saling lapang dada terhadap kesalahan sesama. Dimana dua point ini adalah makna sebenarnya dalam berlebaran, yang nyatanya sering kita lupakan. Juga dalam peringatan hari besar agama, Maulid Nabi misalnya. Demi mencegah tertular atau menularkan penyakit yang berasal dari Cina ini, tidak masalah tidak memperingatinya secara berjamaah di masjid masjid, di majlis ta'lim majlis ta'lim. Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk memaknai peringatan Maulid Nabi, merenungi kelahiran Rosulullah, untuk apa, lantas meneladani akhlaknya. Karena memberi makna pada peringatan hari besar agama seringkali luput, kalah dengan melaksankan "ritualnya" itu sendiri.
        Selain itu, Pandemi melatih kita untuk menjadi "survival expert". Mengasah jiwa kreatif, dan mendorong inovasi. Banyak orang terpaksa "banting setir" dari pekerjaan lamanya kemudian berwirausaha. Pandemi memberi kita pencerahan baru, ternyata menjadi karyawan atau orang kantoran juga tidak selalu "aman". Pandemi juga  memberikan kesempatan kepada jiwa jiwa muda untuk berkreasi daripada harus bersaing mencari kerja dengan para "senior" korban PHK.
        Hal yang sama dapat kita renungi juga dalam proses pendidikan. Karena pandemi, mungkin kita baru tersadarkan bahwa sejatinya belajar tidaklah dibatasi ruang kelas, gedung universitas atau tatap muka antara siswa dan pengajar. Semangat "merdeka belajar" justru baru kita kenali di masa pandemi ini. Ternyata bagi sebagian siswa atau pengajar, proses belajar mengajar secara daring atau online bisa lebih menguntungkan, baik dari sisi finansial (menghemat biaya transport dan uang jajan), kepraktisan, bahkan karena fleksibilitasnya yang tinggi.
        Demikianlah tantangan dan juga peluang di masa pandemi, bagaikan warna hitam dan putih yang sangat kontras. Karena pandemi tidak bisa ditolak, maka beradaptasi dan terus mencari solusi adalah satu satunya jalan agar tetap bisa bertahan hidup. Daripada terus merutuk dan meratapi nasib, mari mengukir asa dan belajar dari hitam putih pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H