Sekarang kita masuk ke cerita inti, sabar sedikit dengan penjelasan ini ya, hehe. Kali ini benar-benar tentang valuasi ekonomi untuk ekosistem. Jasa lingkungan terhadap kita begitu besar. Dan sekali lagi, kita membayar murah atau bahkan tak-“berharga” sama sekali. Bagaimana bisa? Itu karena ekosistem kita menyediakan cuma-cuma berbagai manfaat, dari perlindungan tata air/hidrologi, pengendali volume air-erosi dan banjir, keindahan landskap, keunikan flora fauna lokal, sampai penyerapan dan penyimpanan karbon (carbon offset). Berikut kita mulai contoh kecil dari perhitungannya.
Familiar dengan istilah water footprint product? adalah volume air tawar yg digunakan untuk produksi suatu produk pertanian, yg diukur pada seluruh rantai suplai selama hidupnya (Hoekstra 2003). Nah, nilainya akan berbeda-beda antar jenis tanaman. Dan karena kita hampir selalu makan nasi, jadi aku ambil contoh padi nih ya. Sepanjang usia hidup padi, ia membutuhkan total air tawar yg berkisar pada 3.473 kubik per ton. Karena kita makan nasi dengan jenis yg berbeda-beda, jadi anggap saja nilai water footprint padi varietas x adalah sebagaimana di atas. Sehingga untuk memproduksi 1 kg beras dibutuhkan 2800 liter air tawar. Apabila kita gunakan air PDAM Bekasi yg harganya masih Rp 3.800/kubik, maka untuk memproduksi 1 kg beras kita harus membayar air seharga Rp 10.640,- dan ini belum termasuk harga bulir berasnya, hoho
Singkat cerita, maka dipilihlah judul tulisan seperti di atas. Itu karena terkadang orang kuliah agak kurang kerjaan memang, menghitung water footprint beras sekilo jika air yg digunakan adalah air kemasan (harga air kemasan paling murah Rp 3.000,- per liter). Sehingga untuk mendapatkan 1 kilo gram beras, kita harus membayar harga air kemasan untuk padi sebesar 8,4 juta, oww!
Tapi faktanya, ia-si padi tersebut hidup dengan mengandalkan kasih sayang Tuhan, Yang terus memberikan bermilyar butir air yg turun dari langit. Kemudian ia tumbuh dan memenuhi seluruh siklus hidupnya dan menghasilkan beras untuk kita. Dengan demikian, kita hanya perlu membayar “harga” beras-nya saja, dan bukan “harga” yg diperlukan padi untuk memenuhi siklus hidupnya sampai menghasilkan beras. Sebuah intangibel-kasih sayang Tuhan Semesta Alam bagi kita, penduduk “tanah surga”. Maka sudah menjadi suatu keharusan jika kita menambah syukur kita atas harga hidupnya si padi yg nggak perlu dibayar, ya baru padi ini dan masih banyak yg lain. Contoh lagi, sebuah pohon kopi memerlukan 22.907 kubik air selama siklus hidupnya, yg artinya hampir enam setengah kali yg diperlukan padi.
Masih ingat dengan sebutan tanah surga?
Valuasi-ekonomi Nusantara bahkan melebihi jumlah kekayaan negara berbiaya hidup tertinggi di dunia, berani hitung?
Itu kekayaan yg tiada tara nilainya. Karena merasa membayar gratis untuk tinggal di Indonesia, akan memaksa pikiran kita bermental miskin.
Maka sudah semestinya kita belajar untuk “merasa” kaya, sehingga akan hidup penuh syukur. Dengan demikian, mudah-mudahan Allah menambah nikmat-Nya dengan memampukan kita untuk mengurus kekayaan tersebut, suatu hari.
Sekali terakhir, demikianlah valuasi ekonomi-beras. Kalau ada yg kurang tepat, semoga ada anak pertanian atau statistik, pun siapa saja yg sadar mengoreksi.
Pesan moralnya apa?
- Belilah duku dan manggis selagi ada, nggak perlu nawar juga nggak apa-apa, haha
- Peliharalah alam, karena hubungan kita dengannya ibarat bayi dengan kantung makanannya
- Habiskan nasi di piring makanmu ya :)
- Nikmatilah kopi, itu minuman yg “mewah” ternyata :D
Selesai,
Salam dari Bogor-yg masih kota hujan.