Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan menempati urutan keempat dalam daftar Negara dengan penduduk terbesar di dunia. Hal itu menyebabkan kependudukan menjadi sorotan banyak pihak di lingkungan Pemerintah, pengamat, akademisi, serta media massa. Salah satu masalah kependudukan adalah laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang ada. Akibatnya penduduk berbondong bondong mencari pekerjaan ke pusat kota.Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, penduduk Indonesia mencapai sekitar 257.516.167 jiwa. Sementara itu, hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa. Jika luas wilayah Indonesia mencapai 1.904.569 maka angka kepadatan penduduk Indonesia mencapai 135 jiwa/km2. Angka kepadatan penduduk berdasarkan sensus tahun 2010 mencapai 125 jiwa/km2. Hal tersebut menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Indonesia meningkat sangat pesat, belum lagi ditambah angka migrasi penduduk yang setiap tahun meningkat.
Angka migrasi yang tinggi tersebut disebabkan karena perkotaan merupakan pusat ekonomi, social, budaya, hokum pemerintahan dan juga politik. Hal tersebut juga yang menyebabkan migrasi terjadi, misalnya dalam aspek ekonomi, masyarakat bermigrasi karena mundurnya daerah asal yang disebabkan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman. Akibatnya banyak penduduk yang kehilangan lapangan pekerjaan sebagai petani dan mereka beranggapan bahwa tersedia banyak lapangan pekerjaan ada di kota sehingga masyarakat Indonesia memandang bahwa kota merupakan tempat untuk menambang emas, dan memperoleh keuntungan sebesar- besarnya. Oleh karena itu banyak para urban datang berbondong-bondong ke kota dengan tujuan memperbaiki perekonomiannya di desa. Selain itu faktor lain yang memicu terjadinya migrasi penduduk adalah modernisasi teknologi dan pendidikan yang ada di perkotaan, apalagi universitas-universitas terbaik berada di kotasehingga akan semakin menarik para migrasi untuk menetap di sana.
Migrasi yang meningkat pesat menimbulkan dampak dan permasalahan baru. Overload kota tersebut dapat menyebabkan kota menjadikelebihan penduduk dan kurang terjaga kesehatannya karena keterbatasan fasilitas-fasilitas kesehatan sedangkan penduduknya banyak jadi pelayanan yang tidak maksimal. Perencanaan kota tanpa visi misi dan Pembangunan tidak menggarap potensi unggulan. Pembangunan kota bersifat sporadis dan takluk pada kepentingan pemodal. Siapa saja boleh mendirikan bangunan di kota asal punya uang, tanpa mengacu pada rencana umum tata ruang, rencana detail, atau rencana teknis yang telah dibuat oleh aparat pemerintah kota. Akibatnya, banyak ambisi yang mengorbankan gedung-gedung bersejarah demi pamrih ekonomistik. Tidak mengherankan jika kota-kota besar di negeri ini, baik yang berkategori metropolitan maupun megapolitan dipadati mal, supermal, department store, pusat-pusat belanja, apartemen, serta aneka bangunan dan fasilitas yang serba raksasa, tanpa ketersediaan ruang terbuka hijau yang memadai. Jumlah penduduk yang bertambah dengan luas lahan tetap menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk. Akibatnya, makin besar perbandingan antara jumlah penduduk dan luas lahan. Pada akhirnya, lahan untuk perumahan makin sulit didapatdan harganya juga mahal. Hal itu yang menyebabkan penduduk di kota sangat padat, kita lihat banyakpenduduk yang mendirikan bangunan tidak resmi, bahkan ada pula yang membuat tempat tinggal sementara dari plastik atau dari karton di pinggir sungai atau di bawah kolong jembatan. Model perencanaan kota seperti itu sangat berbahaya bagi masa depan kota-kota. Pembangunan yang serampangan, lambat laun membentuk kota mirip human zoo. Dimana kota yang seharusnya menjadi impian malah menjadi kota yang mengerikan dan menyengsarakan. Masyarakat yang seharusnya menikmati berbagai infrastruktur dan fasilitas di kota, mereka malah mendapatkan yang sebaliknya. Ruang-ruang publik jadi sumpek. Penghuninya tidak peduli lingkungan dan berpotensi menciptakan manusia-manusia temperamental, liar, serta intoleran. Keseluruhan gejala tersebut jadi satu indikasi nyata terbentuknya human zoo bila tidak segera direvisi. Kota-kota telah kehilangan apa yang disebut sebagai urban paradise atau surga perkotaan di antaranya berupa taman, lapangan olahraga, tempat bermain, dan ruang terbuka (RTH).
Berbagai tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota yang terjadi saat ini membuat sebagian besar RTH dikonversi menjadi fasilitas perkotaan. Kota-kota di Indonesia sering kali tidak menempatkan RTH sebagai salah satu ruang penting yang harus ada dalam kota. Padahal RTH dalam suatu kota perlu memiliki suatu perencanaan dan perhatian yang khusus, karena memiliki berbagai fungsi yang tinggi bagi suatu kota seperti ekologis, ekonomi, arsitektur dan sosial/budaya. ). Ketersediaan RTH berperan dalam memasok O2, menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga), mereduksi beberapa zat pencemar udara seperti gas rumah kaca, membantu penyerapan air hujan, menjaga kesuburan tanah, membantu menghindari kebisingan, menciptakan kesejukan oleh rimbunnya dedaunan serta suasana kota yang lebih indah dan nyaman. Dan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 disyaratkan luas RTH minimal 30% dari luas wilayah (negara, provinsi, kota/kabupaten). Namun pada kenyataannya, hanya kurang lebih 10% hingga 20% dari keseluruhan luas perkotaan yang dapat dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau. Dapat kita lihat, bahwa daerah perkotaan telah menjadi daerah komersil yang setiap jengkalnya dimanfaatkan untuk usaha dan pembangunan. Alhasil, kota kerap tumbuh sebagai ruang tak bertata nilai, kering, dan kaku. Nilai-nilai budaya terpinggirkan. Kota perlahan tak lagi sanggup memanusiakan manusia. Kota menjadi bergelimang kesengsaraan, semrawut, tidak terkendali, miskin fasilitas dan utilitas kota, yang mengakibatkan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi warganya.
Untuk mencegah hal tersebut agar tidak terjadi peran pemerintah dan masyarakatsangat diharapkan. Dalam proses pembangunan kota harus berorientasi pada tindakan yang berlandaskan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Jika pembangunan tidak berlandaskan pada hal tersebut, maka pemerintah memberikan sanksi yang tegas. Sanksinya bukan hanya dikenakan kepada pelaku pembangunan, tetapi juga pemberi izin.Selain itu diperlukan adanya bukti izin pembangunan yang sah mulai dari tata ruang nasional, pulau, provinsi, kabupaten, sampai kota dan desa. Seorang perencana kota dituntut memiliki wawasan holistik, memahami arti pentingnya keanekaragaman hayati, konservasi warisan alam, warisan budaya dan dapat mengupayakan keterpaduan antara tata guna lahan dengan jaringan transportasi dan infrastruktur perkotaan. Disisi lain pembangunan infrastruktur jangan hanya berpusat pada wilayah perkotaan namun di wilayah kecil lainnya, agar pembangunan di Indonesia merata sehingga angka migrasi dapat berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H