Mohon tunggu...
ENDANG SHOBARIYAH
ENDANG SHOBARIYAH Mohon Tunggu... Guru - GURU DI SDN ROWOBONI 01 KAB. SEMARANG

Saya seorang guru yang memiliki kesukaan menulis meskipun belum berkembang dan juga hobi memasak. Saya menyukai konten yang berhubungan dengan pendidikan dan kuliner. Saya berharap dengan bergabung di kompasiana.com dapat meningkatkan kompetensi saya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Indonesia?

9 September 2023   20:35 Diperbarui: 9 September 2023   20:39 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis: Endang Shobariyah

Saat ini, dunia sedang mengalami perubahan yang sangat drastis. Perubahannya begitu cepat dan mampu mempengaruhi berbagai sendi kehidupan baik perilaku individu, struktur sosial maupun praktek berorganisasi. Dalam melihat perkembangan yang sangat cepat ini, kita perlu belajar melihat dengan jernih apa yang benar-benar bermakna bagi kita sekarang dan di masa yang akan datang.

Derasnya perubahan dan belenggu rutinitas dunia membuat kita lupa akan makna. Kita jarang melihat kembali makna hidup kita dan harapan kita. Padahal, harapan itu bagaikan bahan bakar untuk tetap berputarnya dunia bagi seorang manusia. Manusia yang berpengharapan akan memiliki peluang untuk mencapai lebih banyak arti ketimbang mereka yang tidak berpengharapan. Begitupun dengan murid, murid yang memiliki pengharapan tinggi dapat mengonseptualisasikan tujuan mereka dengan jelas, sedangkan murid yang memiliki pengharapan rendah lebih ragu-ragu dan tidak jelas akan tujuan mereka. Murid dengan pengharapan tinggi menentukan tujuan mereka berdasarkan kinerja mereka sebelumnya. Mereka memasang target belajar dan standar kinerja yang sedikit lebih tinggi dari apa yang dapat mereka capai, karena mereka dapat menyelaraskan diri dengan tujuan mereka sendiri dan mengendalikan bagaimana mereka akan mencapainya. Murid seperti itu termotivasi secara intrinsik dan berkinerja baik secara akademis (Snyder et.al., 2002, p.824). Murid yang bertumbuh.

Dari kenyataan empirik tersebut, kemudian muncullah pertanyaan mengenai bagaimana kita sebagai guru dapat mendesain lingkungan belajar yang memungkinkan tumbuhnya murid yang memiliki kemandirian dan motivasi intrinsik yang tinggi? Maka atas pertanyaan itulah, guru perlu terus berlatih meningkatkan kapasitas dirinya dalam memvisualisasikan harapan, menggandeng sesama dan mentransformasikannya menjadi harapan bersama. Dari sana, baru kemudian dilanjutkan dengan segala upaya gotong-royong yang diperlukan demi pencapaian harapan bersama tersebut. Harapan kita adalah visi kita. Visi kita sekarang adalah masa depan murid kita. Masa depan murid kita adalah masa depan bangsa kita, Indonesia.

Pada masa kecil, kita pernah ditanya mengenai cita-cita. Pertanyaan yang sering diajukan adalah, "Mau jadi apa jika sudah besar?". Pada masa itu, sebagian besar dari kita dapat menjawab dengan percaya diri. Kita menjawab dengan bersemangat tentang profesi yang ingin kita geluti di masa depan. Padahal, kita belum tahu apakah hal itu dapat dicapai atau tidak. Seperti itulah visi.

Visi itu bagaikan membayangkan sebuah lukisan lengkap pada kanvas yang masih kosong. Visi juga dapat diibaratkan sebagai bintang penunjuk arah yang memandu penjelajah untuk mencapai tujuannya. Visi memang belum terjadi saat ini, namun begitu kuat kita inginkan untuk terwujud di masa depan. Visi adalah representasi visual kita akan masa depan. Penggambaran visi yang jelas tentang keadaan di masa depan dapat membantu kita untuk merencanakan dan menyelaraskan upaya-upaya mewujudkannya.

Kita semua mengenal "Sumpah Palapa" dari Gajah Mada. Lewat sejarah kita belajar bagaimana kemudian visi yang Gajah Mada artikulasikan sebagai sumpah tersebut menggerakkan Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan besar di Nusantara. Visi pribadi beliau begitu kuat, dipercaya, hingga didukung oleh warga dan kerajaannya. Visi itu menguatkan hatinya, menggerakkan hati semua orang, dan mempersatukan gerak bersama dalam pencapaiannya. Gajah Mada adalah Mahapatih bukan Raja dari Kerajaan Majapahit saat itu. Kisah Gajah Mada itu dapat kita tarik ke dalam konteks guru dan sekolahnya. Guru memang bukan Kepala Sekolah, namun jika visi seorang guru memiliki makna yang kuat maka visi tersebut berpeluang menghubungkan hati lebih banyak pihak hingga kemudian mengundang upaya kolaboratif demi mewujudkannya. Visi seorang guru harus dapat di-amini semua pihak karena sangat jelas keberpihakannya pada murid.

Ketika kita sebagai seorang guru membayangkan suatu visi, apakah kita telah menyertakan gambaran murid ke dalamnya? Sebagai seorang guru, mendidik bukanlah pekerjaan administratif. Target pekerjaan kita bukan sebuah dokumen, selembar kertas, atau daftar angka. Mendidik tidak hanya berbicara tentang dimensi waktu "sekarang". Sasaran pekerjaan kita adalah manusia. Target pekerjaan kita adalah pertumbuhan manusia demi manusia. Hasil pekerjaan kita baru akan terlihat saat manusia ini berkarya di masa depan nanti. Oleh karena itu, memiliki visi tentang pertumbuhan murid menjadi hal yang sangat penting bagi seorang guru. Visi mengenai murid inilah yang nantinya menjadi bintang penunjuk arah bagi guru dalam menentukan program dan strategi pembelajaran.

Visi seorang guru dalam menjalankan kewajiban dan perannya harus dikemas dengan baik. Demikian juga murid harus mempunyai visi yang baik karena hal itu yang akan dijadikan pijakan pada aktivitas dalam pembelajaran. Visi yang baik adalah kunci dari hasil yang baik pula. Jika kita ingin mewujudkan visi namun focus kita masih berkutat pada kelemahan dan kekurangan yang ada, hal ini akan menjadi kendala terwujudnya visi itu sendiri. Maka yang perlu kita lakukan dalam mewujudkan visi adalah focus pada hal positif yang dimiliki. Tentunya hal positif tersebut akan menjadi kekuatan untuk mewujudkan visi yang diharapkan. Cara ini merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam mewujudkan visi, yang dikenal dengan istilah pendekatan inkuiri apresiatif, yang dipelopori oleh seorang tokoh Bernama David Cooperrider. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu. Kemudian yang menjadi visi Pendidikan nasional saat ini adalah terwujudnya murid yang berprofil pelajar Pancasila, yakni murid yang memiliki karakter beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, mandiri, gotong royong, kreatif, inovatif, serta berkebhinekaan global.

Peran pendidik dalam mewujudkan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Profil Pelajar Pancasila pada murid-muridnya dapat sangat relevan dengan paradigma inkuiri apresiatif di sekolah. Sebagaimana kita ketahui Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pendiri Taman Siswa yang memiliki visi pendidikan yang inklusif, berpusat pada murid, dan bertujuan mengembangkan potensi setiap individu. Paradigma inkuiri apresiatif sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang memberi penghargaan terhadap pengalaman positif dan penggalian potensi individu. Pendekatan inkuiri apresiatif memberi kesempatan bagi pendidik untuk membangun sebuah hubungan yang saling menghargai dengan murid, dapat memahami kekuatan atau potensi mereka, dan mendorong para murid untuk terus bertumbuh dan berkembang. Keterkaitan Profil Pelajar Pancasila dengan para pendidik dan paradigma inkuiri apresiatif yaitu Profil Pelajar Pancasila menjadi sebuah panduan yang menetapkan karakteristik ideal dari seorang murid yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila berupa sila-sila yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Paradigma inkuiri apresiatif dapat membantu pendidik dalam mencapai tujuan dari profil pelajar Pancasila. Dengan pendekatan inkuiri apresiatif, pendidik dapat membantu para murid dalam memahami nilai-nilai Pancasila secara mendalam melalui pengalaman positif dan membuat refleksi. Pendekatan ini juga dapat mendorong para murid mengembangkan karakteristik saling menghargai, kepedulian sosial, kerjasama, dan kejujuran yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Berikutnya adalah faktor peranan pendidik dalam paradigma inkuiri apresiatif, yang dapat kita simpulkan bahwa peranan pendidik sangatlah penting. Pendidik menjadi fasilitator yang mendukung murid dalam menggali pengalaman positif, memahami kekuatan dan potensi mereka, serta merancang strategi untuk pertumbuhan dan perubahan positif. Pendidik juga membantu murid untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang diinginkan, seperti dalam profil pelajar Pancasila. Dalam pendekatan ini, pendidik berperan sebagai pemandu, penggerak, dan penginspirasi bagi murid, menggugah semangat belajar dan mengarahkan mereka menuju keberhasilan dan kebaikan. Secara holistik, penulis melihat bahwa paradigma inkuiri apresiatif dapat membantu para pendidik dalam mewujudkan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Profil Pelajar Pancasila pada murid-muridnya. Pendekatan inkuiri apresiatif memberi kesempatan bagi pendidik untuk dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif, berpusat pada murid, dan berfokus pada penghargaan, pemahaman, dan pengembangan potensi yang dapat memberikan kontribusi yang positif. Dengan demikian, para pendidik dapat membantu murid dalam memahami dan menginternalisasi nilai-nilai yang diinginkan serta menumbuhkembangkan mereka menjadi individu-individu berkualitas yang sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara dan profil pelajar Pancasila yang diinginkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun