Seiring pesatnya globalisasi, ditandai derasnya arus informasi,  pendidikan akhlaq seringkali  dilupakan  saat ini. Peristiwa seorang anak bernama,  Renggo, suatu hari berjalan tergesa-gesa tidak sengaja menyenggol makanan ringan seharga Rp 1.000,- (seribu rupiah) yang dibawa kakak kelasnya hingga terjatuh. Renggo telah meminta maaf dan mengganti makanan ringan tersebut. Namun  pelaku Y (kakak kelasnya) tidak bisa menerima kesalahan renggo kakak kelas itu tega  menganiaya Renggo  dengan gagang sapu. [Beritajakarta].Â
Akhir-akhir ini perliku bullying marak terjadi, di sekolah, di kampus hingga di tempat kerja. Kasus bullying atau perundungan di sekolah masih menjadi catatan hitam dunia pendidikan yang sulit dihapus. Berita mengenai korban perundungan setiap tahun selalu muncul di pemberitaan nasional juga internasional. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka korban bullying di sekolah.
Banyak seminar dan pembekalan yang diberikan, tetapi angka perundungan masih tetap ada. Mengetahui dan memahami faktor pemicu perundungan, bisa menjadi langkah awal untuk mencegah kasus bullying di sekolah.  Beberapa tanda seorang  siswa menjadi korban bullying diantaranya : 1. Enggan pergi ke sekolah 2. Sering mengeluh sakit perut, dan sakit kepala apalagi saat menjelang berangkat sekolah. 3. Sering cemas dan pucat sesudah melihat HP. 4. Malas berteman, cenderung menyendiri. 5. Sering ada bekas luka di tubuh siswa 6. Sulit tidur di malam hari karena gugup dan cemas. 7. Menurunnya prestasi akademik.
Dilansir dari Kompas.com,  Kebanyakan  pelaku bullying di sekolah memiliki masalah dalam keluarga mereka. Ketidakharmonisan di rumah, membuat anak kurang mendapat  perhatian dan kasih sayang orang tua. Renggangnya komunikasi antara orang tua dan anak menjadi sebab lemahnya  kontrol orang tua terhadap perilaku buah hati mereka.
Bahkan perilaku  bullying  saat ini  tidak hanya terjadi di sekolah, termasuk di tempat kerja.  Seharusnya  tempat kerja menjadi rumah kedua, yang terjadi malah  seperti "neraka kecil" karena mereka mengalami perundungan dari rekan-rekan kerja.
Penelitian  Gunawan, Prihanto, & Yuwanto (2009) mengenai kekerasan di tempat kerja (workplace bullying) terhadap 123 orang pekerja di Surabaya, diperoleh data bahwa 49% responden menjadi saksi mata terjadinya bullying di tempat kerja dan mengalami beberapa efek, diantaranya :
Pertama, efek psikologis seperti  rasa marah, terluka, sedih, kecewa, kehilangan rasa percaya diri, marah pada diri sendiri, merasa terisolasi, frustrasi di tempat kerja, dan mengalami ketakutan menghadapi orang lain.
Kedua, efek perilaku seperti sikap defensif, hilangnya komitmen kerja, dan dorongan berhenti pekerjaan.
Bullying didefinisikan sebagai " Perilaku bermusuhan dan komunikasi yang tidak etis, yang diarahkan secara sistematis oleh satu atau beberapa individu terhadap satu individu lainnya. Bullying atau aksi pembulian dapat diartikan juga sebagai perundungan. Sebuah perilaku agresif dan kekerasan. Baik kekerasan secara fisik maupun secara psikis yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah, yang dengan sengaja bertujuan mendominasi, menyakiti, menyingkirkan, dan melukai korban secara berkelanjutan dan berulang-ulang, sebagai penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan secara sistematis" (Rigby, 1994; Olweus, 2005; Black & Jackson, 2007).
Ada beberapa perundungan yang kerap terjadi, Diantaranya : Mulut kotor, ucapan atau kata-kata kotor kepada rekan kerja, dengan maksud menghina, ataupun disebabkan kesalahan kerja. Kritik tajam,  mencari kesalahan, ketimbang melihat usaha dari rekan kerja atau anak buah. Iri atau kecemburuan,  persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan prestasi karena kecemburuan. Saling sikut, dan menjegal rekan kerja demi mempromosikan diri sendiri. Bercanda di luar batas, mengolok-olok atau menjadikan rekan kerja  sebagai bahan becanda agar  ditertawakan.
Maraknya perilaku  bullying ini, merupakan tanda hilangnya nilai-nilai akhlak di kalangan masyarakat kita saat ini. Pendidikan diharapkan tidak hanya mengutamakan aspek kognitif, juga aspek  akhlaqul karimah (perilaku yang mulia). Bahkan, di Jepang pelajaran tentang etika dan moral lebih diutamakan dari pada ilmu pengetahuan (kognitif).