Mohon tunggu...
Endang Rahmat
Endang Rahmat Mohon Tunggu...

Sedang menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung, jurusan Bioengineering

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengkaji Fenomena Kenaikan LPG 12 kg yang Menjadi Trending Topic Tingkat Nasional

20 September 2014   22:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:06 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Setelah beberapa waktu lalu masyarakat diramaikan dengan isu kenaikan harga BBM, kini isu yang sama juga terjadi dalam penentuan kebijakan harga gas LPG 12 kg oleh PT Pertamina. Sebenarnya wacana Pertamina untuk menaikan gas LPG 12 kg ini telah dimulai dari beberapa bulan yang lalu, namun baru direalisasikan pada tanggal 10 September 2014 kemarin. Pada tanggal itu PT Pertamina telah resmi menaikan harga gas LPG 12 kg dengan harga sbesar Rp. 1500, per kg. Kebijakan PT Pertamina untuk menaikan harga gas LPG 12 kg ini tentunya menuai banyak respon dari berbagai pihak, baik respon positif maupun negatif. Sebagian masyarakat menerima kenaikan harga gas LPG 12 kg ini. Sebagian yang lain terutama kalangan yang sudah rutin menggunakan gas LPG 12 kg ini dengan tegas menolakan kebijakan tersebut.

Beragamnya respon dan tanggapan masyarakat terhadap kebijakan PT Pertamina untuk menaikan harga gas LPG 12 kg telah menjadi isu yang ramai diperbincangkan ditingkat nasional belakangan ini. Isu yang belakangan menjadi trending topic ini sepertinya sangat menarik perhatian berbagai ahli dan pengamat untuk dapat mengupas fenomena didalamnya. Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat serta terhadap perekonomian negara secara langsung maupun tidak langsung.

Jika menengok asal muasal permasalahan, PT Pertamina sebenarnya memutuskan untuk menaikan harga LPG nonsubsidi kemasan 12 kg tersebut karena karena tingginya harga pokok LPG dipasaran dan turunnya nilai tukar rupiah yang menyebabkan kerugian perusahaan semakin besar. Harga LPG itu naik seiring konsumsi LPG 12 kg tahun 2013 mencapai angka 977.000 ton, sementara itu harga pokok perolehan elpiji rata-rata meningkat menjadi USS 873 per ton ditahun 2013 dan naik menjdi USD 1000 per ton diawal tahun 2014, serta nilai tukar rupiah yang tak pernah dibawah Rp. 11 ribu per USD. Hal itu menyebabkan kerugian yang dialami PT Pertamina sepanjang tahun 2013 dierkirakan mencapai lebih dari 5,7 trilliun dari lini bisnis Elpiji 12 kg. Kerugian ini terutama disebabkan harga jual Elpiji 12 kg masih jauh dibawah harga pokok perolehan.

Sementara itu dalam pidato rapat kabinet pada bulan Januari 2014 lalu, presiden SBY juga menyampaikan hal yang hampir sama terkait penyebab kenaikan harga Elpiji 12 kg ini. Secara runtut presiden SBY mengatakan alasan dan tujuan kenaikan harga Elpiji 12 kg oleh PTPertamina utamanya didorong dan dikarenakan oleh hasil pemeriksaan BPK yang dalam auditnya ditemukan kerugian Pertamina sebesar Rp. 7,7 triliun. Kerugian itu didapatkan utamanya oleh harga yang dianggap terlalu rendah dari Elpiji 12 kg. Padahal Elpiji golongan itu tidak termasuk Elpiji yang mendapatkan subsidi. Berbeda misalnya dengan Elpiji 3 kg yang mendapatkan subsidi. BPK dalam pemeriksaannya juga merekomendasikan dilaksanakannya kenaikan harga LPG 12 kg untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi kerugian yang dialami oleh PT Pertamina.

Jika melihat penyebabnya maka sangat masuk akal apabila PT Pertamina menaikan harga Elpiji 12 kg tersebut. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh anggota komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim yang mengatakan, penyebab kenaikan Elpiji 12 kg memang tak dapat terhindarkan. Pasalnya, komposisi bahan baku yang harus diimpor semakin besar. Sedangkan, produk Elpiji 12 kg diperuntukan bagi konsumen mampu.

Harga Elpiji 12 kg yang berlaku hingga sebelum dinaikan tanggal 10 September 2014 kemarin merupakan harga yang telah ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp 5.850 per kg, sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg. Dengan kondisi ini maka sebenarnya PT Pertamina selama ini telah “jual rugi” dan menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir.

Oleh karena itu terhitung mulai bulan januari 2014 kemarin PT Pertamina mempersiapkan kebijakan untuk menaikan harga Elpiji 12 kg ini. Kenaikan ini akhirnya resmi ditetapkan pada tanggal 10 September 2014 lalu. Besaran kenaikan ditingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak SPBBEke titik serah ( supply Point). Dengan kenaikan inipun diperkirakan Pertamina masih “jual rugi” kepada konsumen Elpiji 12 kg kurang lebih sebesar Rp 2.100 per kg. Selain itu kenaikan harga Elpiji 12 kg ini juga bertujuan untuk tetap menjaga kualitas dan layanan disetiap mata rantai distribusi yang mencapai 8 titik mata rantai.

Dengan pola konsumsi Elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg dimasyarakat yang umunya dapat digunakan untuk 1 hingga 1,5 bulan, kenaikan harga tersebut akan memberikan dampak tambahan pengeluaran sampai dengan Rp. 47.000 per bulan atau Rp. 1.566 per hari. Kondisi ini diyakini tidak akan banyak berpengaruh pada daya beli masyarakat mengingat konsumen Elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg adalah kalangan mampu. Sementara itu untuk masyarakat konsumen ekonomi lemah dan usaha mikro, pemerintah telah menyediakan Elpiji bersubsidi kemasan 3 kg yang harganya lebih murah.

Jika dilihat secara jeli mengenai profil pengguna Elpiji kemasan 12 kg ini, hasil survey Nielsen terhadap 7.300 panel rumah tangga pada tahun 2013 menunjukan bahwa Elpiji 12 kg digunakan oleh hanya 16% masyarakat perkotaan dan 4% masyarakat pedesaan di Pulau Jawa. Lebih jauh lagi, ternyata lebih dari 70% pengguna Elpiji 12 kg diperkotaan adalah kelompok ekonomi atas yang memiliki pendidikan lebih tinggi ( SMA hingga S-2), menggunakan perangkat komputer dirumah, memiliki lemari pendingin, dan sumber air minum isi ulang bermerek tertentu. Ini menunjukan bahwa pemakai elpiji 12 kg didominasi masyarakat kelas atas, misalnya kelas masyarakat dengan rata-rata pengeluaran Rp 4,43 juta per bulan. Berdasarkan fakta ini seharusnya kebijakan pertamina untuk menaikan harga elpiji kemasan 12 kg tidak akan menjadi masalah besar dikalangan masyarakat, karena kebijakan ini sejatinya ditujukan bagi masyarakat yang mampu secara ekonomi, yang menurut hasil survey justru pelanggan elpiji 12 kg ini menghabiskan uang lebih banyak untuk rekreasi.

Namun meskipun telah jelas maksud dan tujuan PT Pertamina utuk menaikan harga Elpiji 12 kg ini, tetapi masih banyak kalangan masyarakat yang memberikan berbagai respon negative terutama jika dilihat dari dampak yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Meskipun Pertamina telah mengklaim bahwa dampak yang ditimbulkan tidak akan begitu signifikan, tetapi dampak sekecil apapun akan menjadi suatu hal yang sensitif dan menimbulkan masalah dipikiran masyarakat. Misalnya, dampak yang paling nyata dan sulit untuk dihindari adalah adanya migrasi dari pengguna Elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg. Hal ini dapat menghasilkan masalah baru bagi masyarakat seperti timbulnya kelangkaan Elpiji kemasan 3 kg. Fenomena ini senada dengan apa yang dikatakan oleh ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi yang mengaku cukup khawatir terhadap dampak kenaikan elpiji 12 kg. Pasalnya hal tersebut bisa menimbulkan anomali harga yang jauh berbeda dengan produk sama. Walhasil, ada potensi besar konsumen yang seharusnya mengonsumsi Elpiji nonsubsidi bermigrasi ke Elpiji 3 kg.

Kenaikan harga Elpiji 12 kg juga dapat mengakibatkan terjadinya kelangkaan stok persediaan di berbagai daerah di level distributor dan agen. Karenanya perlu ada sistem monitoring yang akurat dengan strategi distribusi yang tepat sasaran, karena disisi lain kelangkaan terjadi diprediksi akibat adanya agen dan distributor yang nakal dengan melakukan penimbunan untuk mengambil keuntungan sepihak.

Sementara itu kenaikan harga jual Elpiji 12 kg juga diyakini bakal memukul industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah yang masih banyak menggunakan bahan bakar tersebut. Kebijakan tersebut akan berimbas pada ongkos produksi yang akhirnya mempengaruhi harga jual produk-produk makanan dan minuman. Sebaliknya industri menengah tersebut tidak bisa seenaknya menaikan harga jual. Hal ini dikarenakan kenaikan harga akan berdampak pada berkurangnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk makanan atau minuman tertentu yang akhirnya dapat berimbas pada pencapaian omzet industri.

Lebih jauh lagi kenaikan harga Elpiji 12 kg tersebut dapat mengakibatkan meningkatnya laju inflasi. Meskipun begitu, dampak yang ditimbulkan tidak akan terlalu besar seperti dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini juga pernah dibahas oleh Mentri Keuangan Chatib Basri yang mengatakan kenaikan harga elpii 12 kg akan mempengaruhi laju inflasi sebesar 0,1 persen. Akan tetapi hal ini tidak akan mengganggu target inflasi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 sebesar 5,5 persen. Ia optimis target inflasi dalam APBN-P 2014 akan tercapai.

Di beberapa daerah di Indonesia dampak kenaikan harga Elpiji 12 kg tersebut sudah mulai terasa. Di kabupaten Subang misalnya, pasca kenaikan harga Elpiji 12 kg kini mulai berdampak terhadap harga Elpiji 3 kg. Beberapa hari terakhir harga eceran gas Elpiji 3 kg di beberapa daerah di kabupaten Subang menyentuh Rp 20.000,00 per tabung. Diduga kondisi tersebut terjadi akibat adanya migrasi pengguna Elpiji 12 kg ke Elpiji 3 kg. Hal yang sama juga terjadi di kota Pekanbaru, disana diberitakan gas Elpiji 3 kg sudah mulai langka. Para pedagang mengakui, kondisi itu sebagai dampak kenaikan harga gas nonsubsidi sejak Rabu (10/9). Kelangkaan Elpiji 3 kg juga terjadi di Bandar Lampung, Bali, dan beberapa kota lainnya. Tidak bisa dipungkiri kondisi ini terjadi karena adanya migrasi pengguna Elpiji 12 kg ke Elpiji 3 kg.

Fakta-fakta diatas menggambarkan bahwa, meskipun PT Pertamina telah berupaya untuk meminimalisir dampak dari kenaikan harga Elpiji 12 kg tetapi kenyataannya terjadinya dampak tersebut tidak bisa dicegah secara utuh dikalangan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem preventif yang professional untuk mengatasi dampak yang terjadi dari kenaikan harga Elpiji 12 kg tersebut. Beberapa solusi berikut bisa dijadikan referensi dan masukan bagi pihak terkait agar dampak buruk akibat kenaikan Elpiji 12 kg dapat dicegah.


  • Untuk mengatasi dampak kenaikan Elpiji 12 kg PT Pertamina telah membuat tindakan pencegahan dengan memberlakukan sistem monitoring elpiji 3 kg (SIMOL3K) pada akhir juni 2014. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mencegah adanya migrasi dari pengguna LPG 12 kg ke elpiji 3 kg. migrasi ini bisa terjadi karena tingginya disparitas harga antara elpiji nonsubsidi 12 kg dengan elpiji 3 kg yang masih disubsidi pemerintah. SIMOL3K ini terdiri dari tim yang dibentuk oleh PT Pertamina untuk melakukan pengawasan terhadap sejumlah agen dan pangkalan Elpiji 3 kg. PT Pertamina dapat memonitoring penggunaan elpiji 3 kg melalui data tingkat konsumsi di masing-masing agen dan pangkalan sehingga lonjakan penggunaan Elpiji 3 kg bisa diantisipasi. Namun selama keberjalanannya sistem ini masih perlu ditingkatkan lagi baik dari segi strategi pengawasannya maupun perbaikan tim didalamnya. Hal ini didasarkan pada fakta dilapangan yang menggambarkan masih banyaknya migrasi konsumen dari Elpiji 12 kg ke Elpiji 3 kg.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun