Oleh Endang Firdaus
Jam 9 pagi. Bersama seorang teman, dengan mengendarai sepeda motor, aku pergi menuju Kecamatan Cinangka. Tujuan kami adalah Curug Betung. Setelah melintasi jalan raya Anyar Cinangka, kami memasuki jalan kecil menuju lokasi yang kami tuju. Kami akhirnya sampai di sebuah kampung. Karena lokasi tujuan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki, kami lalu menitipkan sepeda motor di sebuah warung.
Kami melintasi kebun-kebun penduduk. Karena berada di daerah yang tinggi sepanjang jalan kami menikmati pemandangan di bawah, satu daerah persawahan dengan tanaman padinya yang tengah menguning. Di belakang persawahan tampak perbukitan hijau. Mendekati lokasi tujuan kami mendengar gemuruh suara air. Makin dekat suara gemuruh kian kencang. Jalan yang kami lalui pun mulai sulit, licin, dan banyak bebatuan yang ditutupi lumut hijau. Penuh hati-hati kami melangkah. Kami akhirnya tiba di Curug Betung. Air terjun indah di tengah hutan lebat menyambut kami.
Legenda Sangkuriang
Konon, keberadaan Curug Betung berhubungan dengan Legenda Sangkuriang versi Banten.
Batu-batu tipis yang disusun rapi di sepanjang tepi Curug Betung adalah hasil pekerjaan Sangkuriang dalam memenuhi syarat yang diminta Nyi Hartati. Nyi Hartati adalah ibu Sangkuriang. Ketika kecil, karena tak dapat memenuhi keinginan sang ibu yang sangat ingin makan daging rusa, Sangkuriang membunuh si Tumang, anjingnya. Daging si Tumang ia berikan pada si ibu. Si ibu marah ketika tahu daging itu daging si Tumang,
Tumang adalah ayah Sangkuriang. Nyi Hartati menjadikan Tumang sebagai suaminya karena ikrar yang diucapkannya. Ketika itu Nyi Hartati sedang menenun di rumahnya yang berbentuk panggung. Tiba-tiba alat tenunnya jatuh. Nyi Hartati malas mengambilnya. Ia lalu berikrar bahwa siapa pun yang mengambilkan alat tenun itu akan dijadikan sebagai suaminya. Ternyata si Tumang yang melakukan itu. Dengan berat hati Nyi Hartati menjadikan Tumang sebagai suami. Lalu lahir Sangkuriang. Maka ketika tahu Sangkuriang telah membunuh ayahnya, Nyi Hartati sangat marah. Dipukulnya kepala Sangkuriang dengan kayu hingga luka berdarah, lalu diusirnya Sangkuriang.
Sangkuriang menjadi pemuda tampan. Ia kemudian bertemu sang ibu yang tetap muda. Keduanya saling jatuh cinta. Ketika sedang mencari kutu di kepala Sangkuriang, Nyi Hartati menemukan bekas luka di kepala pemuda itu. Ia menanyakan penyebab luka itu pada Sangkuriang. Sangkuriang pun bercerita kalau luka itu akibat dipukul ibunya waktu kecil. Seketika Nyi Hartati tahu kalau Sangkuriang anaknya. Diberitahunya hal itu pada Sangkuriang. Sangkuriang tidak percaya karena Nyi Hartati yang menurutnya masih seusianya. Ia memaksa Nyi Hartati untuk mau menjadi iastrinya. Nyi Hartati akhirnya mau kalau Sangkuriang dapat membuat dam sepanjang tepi sungai yang menuju Curug Betung dalam semalam. Dam itu harus selesai sebelum ayam jantan berkokok. Berkat kesaktiannya Sangkuriang hampir dapat melakukan tugas itu. Nyi Hartati menggagalkannya dengan membuat para ayam jantan berkokok sebelum waktunya. Sangkuriang yang tahu kalau itu ulah Nyi Hartati mengejarnya. Menghindari Sangkuriang, Nyi Hartati masuk ke alam gaib.
Belum Diberdayakan
Setiap hari libur banyak orang yang datang untuk menikmati suasana indah dan tenang Curug Betung. Para pelajar menjadikan Curug Betung sebagai lokasi kegiatan pramuka.
Keindahan Curug Betung membuat sejuk di mata. Suasana tenang Curug Betung membuat hati setiap orang yang datang ke tempat itu merasakan kedamaian. Aliran sungainya yang lumayan deras bisa dijadikan lokasi arung jeram yang sangat menantang adrenalin, alamnya bisa dijadikan kegiatan outbound yang sangat asyik, hutannya bisa dijadikan ajang untuk berburu babi hutan yang banyak hidup di sana. Sayang, Curug Betung yang memiliki nilai pariwisata yang tinggi belum dimanfaatkan.
Matahari telah berada di atas kepala. Rasa sejuk dan tenang tetap menaungi suasana Curug Betung. Panas matahari tidak mampu menembus rimbunnya pepohonan yang melingkung tempat ini. Setengah jam kemudian, kami mulai merasakan perut kami yang minta segera diisi. Makanan kecil yang kami bawa dari rumah tak cukup memenuhi rasa lapar kami. Kami pun memutuskan meninggalkan Curug Betung.
Melangkah pelan kami menuju warung di mana motor kami titipkan. Suara air terjun semakin lama semakin sayup terdengar, seiring semakin menjauhnya kami dari Curug Betung, dan akhirnya tak terdengar sama sekali. Selamat tinggal, Curug Betung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H