Mohon tunggu...
Endang Firdaus
Endang Firdaus Mohon Tunggu... -

penulis, penerjemah, dan guru

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dongeng dari Jawa Barat

4 November 2013   17:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAK MOKSEL DAN BU MOKSEL

Adalah sepasang suami istri. Mereka Pak Moksel dan Bu Moksel. Keduanya hidup amat miskin. Pendapatan mereka tidak cukup untuk hidup sehari-hari. Karenanya setiap hari mereka bertengkar.

Suatu hari, Pak Moksel dan Bu Moksel kembali bertengkar. Penuh kesal Bu Moksel berkata, “Jika begini terus, lebih baik kau kembalikan aku pada orang tuaku. Ceraikan aku. Aku sudah tidak tahan.”

“Baik,” timpal Pak Moksel.

Segera Pak Moksel dan Bu Moksel pergi ke rumah Penghulu untuk mengurus perceraian mereka. Sebenarnya, Pak Moksel dan Bu Moksel belum lama menikah. Keduanya masih muda. Bu Moksel amat cantik. Ketika sampai di rumah Penghulu, seketika Penghulu tertarik pada kecantikan Bu Moksel. “Apa maksud kedatangan kalian ke mari?” tanyanya pada Pak Moksel dan Bu Moksel.

“Saya ingin bercerai dari suami saya,” jawab Bu Moksel.

Mendengar itu Penghulu sangat senang. Dengan cepat diurusnya perceraian mereka. Selesai itu Pak Moksel pulang ke rumahnya. Sementara Bu Moksel disuruh tinggal oleh Penghulu. Penghulu berkata, “Bu Moksel, malam ini kau tinggal di mana?”

“Di rumah Pak Moksel.”

“Bukankah ia bukan suamimu lagi?”

“Benar,” kata Bu Moksel. “Saya tinggal di rumah itu cuma malam ini saja. Pak Moksel akan bermalam di rumah saudaranya.”

Penghulu berbinar-binar gembira. Ucapnya, “Jika begitu, nanti malam, selepas isya, aku akan ke rumahmu. Ini uang dua puluh ringgit untukmu.”

Bu Moksel menerima uang itu. Ia lalu pamit pulang. Di jalan, ia bertemu dengan Kanjeng Patih. Melihat kecantikan Bu Moksel, seketika Kanjeng Patih tertarik. Kanjeng Patih bertanya, “Kau dari mana?” Bu Moksel pun bercerita. Katanya ia habis dari rumah Penghulu mengurus perceraiannya dengan suaminya. Kanjeng Patih sangat senang mendengar itu. Katanya, “Nanti malam, selepas isya, aku akan ke rumahmu. Kau jangan ke mana-mana. Ini uang dua puluh ringgit untukmu.”

Bu Moksel menerima uang itu. Ia lalu meneruskan perjalanan. Tak lama, ia bertemu dengan Tuan Panglima. Melihat kecantikannya, seketika Tuan Panglima tertarik padanya. Tanyanya, “Kau dari mana?” Bu Moksel pun bercerita, bahwa ia habis dari rumah Penghulu mengurus perceraiannya dengan suaminya. Mendengar itu, Tuan Panglima seketika amat suka cita. Katanya, “Nanti malam, kau jangan ke mana-mana. Aku akan ke rumahmu, selepas isya. Ini uang dua puluh ringgit untukmu.”

Bu Moksel menerima uang itu. Ia lalu meneruskan perjalanan. Senyum gembira menghias bibirnya. Ia kini telah menjadi seorang yang kaya. Di tangannya ada uang sebanyak enam puluh ringgit. Gumamnya, “Lebih aku berbaikkan dengan suamiku. Bukankah dulu aku pernah hidup bahagia bersamanya ketika ia masih kaya? Tak pantas aku meninggalkannya setelah ia jatuh miskin. Betapa aku telah berdosa padanya karena meminta cerai darinya. Aku telah menyakiti hatinya. Seharusnya suami istri itu senang dan susah dijalani bersama.”

Bu Moksel tiba di rumah. Cepat ia menemui Pak Moksel. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya.

“Ada apa lagi?” tanya Pak Moksel ketus. “Bukankah kita sudah tidak punya hubungan lagi? Aku tak mau lagi bicara denganmu.”

“Sabar, sabar,” timpal Bu Moksel. “Jangan marah begitu. Lihat, aku punya uang enam puluh ringgit. Bagaimana kalau kita berbaikkan? Aku menyesal telah meminta cerai darimu.”

Pak Moksel sangat senang mendengar itu. Tanyanya, “Dari mana kau mendapat uang sebanyak itu?” Bu Moksel cepat bercerita. “Jika begitu,” ucap Pak Moksel selesai itu, “lebih baik aku cepat pergi dari sini. Aku takut pada mereka.”

“Jangan,” tukas Bu Moksel. “Aku punya rencana untuk mereka. Kau mau menuruti apa yang aku perintahkan?” Pak Moksel menyetujui. Bu Moksel lalu pergi ke pasar. Ia membeli bedak, minyak wangi, giring-giring, dan tongkat.

Sore datang. Bu Moksel menyuruh Pak Moksel menanggalkan bajunya. Sekujur tubuh Pak Moksel lalu dilumuri jelaga hingga hitam legam, kemudian dicoreng-coreng dengan bedak. Pada pergelangan tangan dan kaki lalu diberi giring-giring. Sesudah itu Bu Moksel menyuruh Pak Moksel bersembunyi di kamar belakang. Ucap Bu Moksel, “Peganglah tongkat ini. Nanti malam, setelah beberapa saat tamu yang ketiga datang, masuklah kau ke kamar tidur. Berjalanlah pelan-pelan. Bunyikan giring-giring pada tangan dan kakimu setiap kali melangkah. Ketuk-ketukkan tongkat ke lantai.” Pak Moksel mengangguk-angguk menyetujui, meski ia tak tahu tujuannya. Bu Moksel lalu cepat mandi, kemudian ia berhias. Pakaian bagus dikenakannya. Ia tampak sangat cantik sekali. Bu Moksel kemudian duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan tamu-tamunya.

Di rumah Penghulu, Penghulu mengumpulkan para lebai agar berjaga di rumahnya. Katanya kemudian pada mereka, “Aku akan pergi meronda. Nanti malam, jika ada orang datang ke sini, jangan kalian tanyai lagi. Tangkap dan pukuli saja ia. Kalau aku yang datang, pasti kalian akan segera tahu, sebab aku naik delman.” Penghulu lalu cepat pergi ke rumah Bu Moksel.

Di rumah Kanjeng Patih, Kanjeng Patih mengumpulkan orang-orangnya. Katanya pada mereka, “Aku akan pergi meronda. Kalian berjagalah di sini. Nanti malam, kalau ada orang datang ke sini, Tangkap dan pukuli saja langsung. Jangan ditanya-tanya lagi. Kalau aku yang datang, kalian pasti akan segera tahu, sebab aku naik bendi.” Kanjeng Patih lalu cepat ke rumah Bu Moksel.

Di rumah Tuan Panglima, Tuan Panglima mengumpulkan anak buahnya. Katanya pada mereka, “Berjagalah kalian di sini. Aku akan pergi meronda. Nanti malam, bila ada orang datang ke sini, jangan kalian tanyai lagi. Tangkap dan pukuli saja ia. Bila aku yang datang, kalian pasti akan segera tahu, sebab aku naik kereta kuda.” Tuan Panglima lalu cepat ke rumah Bu Moksel.

Jam delapan. Penghulu tiba di rumah Bu Moksel. Penuh ramah Bu Moksel menerimanya. Katanya kemudian, “Bukalah pakaian Tuan.” Penghulu cepat melakukan. Bu Moksel lalu mengajaknya ke kamar tidur. Setiba di dalam, dilumurinya tubuh Penghulu dengan jelaga. Penghulu menurut saja. Tubuhnya jadi hitam legam.

Suara bendi kemudian terdengar masuk ke halaman rumah Bu Moksel, lalu ada ketukan di pintu dan suara orang memanggil Bu Moksel. “Siapa itu?” tanya Penghulu, penuh terkejut yang amat sangat.

“Sepertinya Kanjeng Patih,” kata Bu Moksel. Seketika Penghulu pias. Ketakutan menderanya. Ia gemetaran. “Tuan takut?” tanya Bu Moksel. “Jika begitu, bersembunyilah.” Ia lalu membawa Penghulu ke sudut kamar. “Bersembunyilah di sini. Junjung lampu ini agar terlindung.” Penghulu menurut saja. Tampak ia seperti sebuah patung yang tengah menjunjung lampu.

Bu Moksel keluar kamar. Dibukanya pintu. Dipersilakannya Kanjeng Patih masuk. Kanjeng Patih kemudian diperintahkannya menanggalkan pakaian, lalu diajaknya ke kamar tidur. Kanjeng Patih tak menolak saat tubuhnya dilumuri jelaga. Suara kereta kuda kemudian terdengar memasuki halaman rumah Bu Moksel, lalu pintu terdengar diketuk. Suara orang memanggil Bu Moksel terdengar. Kanjeng Patih terkejut. “Siapa itu?” tanyanya.

“Sepertinya Tuan Panglima,” kata Bu Moksel. Seketika Kanjeng Patih dilanda takut yang amat sangat. “Tuan takut?” tanya Bu Moksel. “Bersembunyilah jika takut.” Ia lalu membawa Kanjeng Patih ke sudut kamar, dekat Penghulu. Sebuah meja kecil diletakkan di kepala Kanjeng Patih. “Meja ini dapat menutupi Tuan,” ucap Bu Moksel.

Bu Moksel lalu keluar kamar. Dibukanya pintu. Tuan Panglima cepat masuk. Bu Moksel lalu memintanya menanggalkan pakaian. Tuan Panglima melakukan. Ia lalu diajak ke kamar tidur. Ia menurut saja saat tubuhnya dilumuri jelaga. Baru saja itu selesai, ketika tiba-tiba terdengar langkah-langkah Pak Moksel memasuki kamar tidur. Suara ketukan tongkat pada lantai dan suara giring-giring ramai memenuhi kamar. Penghulu, Kanjeng Patih, dan Tuan Panglima seketika dilanda takut yang tiada terhingga. Ketakutan mereka kian menghebat saat melihat satu makhluk hitam penuh coreng-coreng masuk ke dalam kamar. Penuh takut, Penghulu menjerit keras, lalu mundur-mundur sambil menjunjung lampu. Kanjeng Patih takut melihat patung di sebelahnya bergerak. Meja kecil yang dipegangnya terlepas dan menimpa kaki Penghulu. Penghulu terjerembab jatuh. Lampu pun padam.

Melihat itu Tuan Panglima cepat kabur meninggalkan rumah Bu Moksel. Tak ia pedulikan pakaian dan kereta kudanya. Penghulu dan Kanjeng Patih pun berbuat sama. Tanpa menghiraukan pakaian, delman, dan bendi mereka, mereka tunggang-langgang meninggalkan rumah Bu Moksel. Setiba di rumah masing-masing, ketiganya habis dipukuli orang-orangnya.

Pak Moksel dan Bu Moksel amat suka cita. Mereka kini kian kaya. Mereka mendapat delman, bendi, dan kereta kuda. Juga pakaian Penghulu, Kanjeng Patih, dan Tuan Panglima. Di pakaian-pakaian itu ada uang yang jumlahnya tidak sedikit. Penghulu, Kanjeng Patih, dan Tuan Panglima tak berani mengambil barang-barang mereka yang tertinggal. Mereka takut rahasia mereka terbuka. Pak Moksel dan Bu Moksel hidup tenteram dan bahagia selamanya. Tidak ada lagi pertengkaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun