Awal masuk sekolah pertama merupakan pengalaman yang paling berkesan tentunya untuk siswa baru, terutama siswa kelas 1. Begitu pun guru kelas 1, sudah tidak sabar untuk mendidik dan membimbing mereka.Â
Terkadang kami berpikir bahwa anak kelas 1 nanti adalah anak-anak yang sudah bisa membaca dengan lancar sehingga sebagai guru kelas 1, beban kami sedikit ringan. Akan tetapi pemikiran tersebut kurang tepat. Kami harus menepis jauh-jauh hal tersebut. Saat mereka berada di Taman Kanak-kanak (TK), kita jangan membebankan kepada guru TK bahwa setelah lulus TK mereka harus bisa menulis dan membaca. Masa TK adalah masa di mana anak bermain sambil belajar.
Stigma masyarakat saat ini seakan sudah mengakar bahwa anak masuk kelas 1 sekolah dasar harus bisa membaca dan menulis. Tidak sedikit orang tua yang membimbing belajar di rumah dengan keras dan otoriter kepada anaknya sehingga anak menjadi pesimis dan terbebani.Â
Sebagai orang tua, sepatutnya mendukung anak dengan sabar dan penuh semangat. Saat anak memasuki kelas 1 sekolah dasar, mereka bisa berkolaborasi dengan guru kelas 1 untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami anak.
Begitu pula yang saya alami. Saat ini siswa saya berjumlah 7 orang dari 7 siswa, terdiri atas 6 siswa laki-laki dan 1 orang siswa perempuan. Meskipun dari 7 anak tersebut baru 2 yang bisa lancar membaca dan menulis, hal ini tidak menyurutkan semangat saya untuk mendidik mereka.Â
Pada awal-awal, saya begitu merasa berat karena harus memulai dari awal lagi. Namun, bukankah itu memang tugas saya sebagai guru, mendidik mereka sesuai kodrat alam dan kodrat zaman seperti yang pernah diutarakan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara?
Sebagai guru saya memahami setiap anak memiliki pondasi yang berbeda. Awal dari keberangkatan di titik mana yang mereka pelajari, sejauh mana kemampuan mereka. Guru harus mendukung dan menstimulus semua aset yang mereka miliki karena mereka semua adalah anak-anak yang hebat dan unik. Lalu, bagaimana saya menghadapi keberagamanan kebutuhan belajar mereka?
Saya memberikan tes diagnostik kognitif dan nonkognitif kepada mereka. Setelah itu, saya mengelompokkan mereka berdasarkan kebutuhan belajar dan minat mereka. Saat di kelas, mereka adalah anak yang hiperaktif dan belum bisa fokus duduk belajar dengan tenang. Â Kebiasaan belajar belum tertib dan mereka seolah-olah asik dengan dunia sendiri. Beberapa anak selalu mengeluh saat saya minta untuk menulis.Â
Padahal, di kelas rendah sangat difokuskan untuk lancar calistung-- membaca, menulis dan berhitung. Empat jam pelajaran mereka hanya mampu menulis 10 kalimat. Bahkan, sebut saja Doni (nama samaran), paling tidak suka menulis. Satu hari belajar di kelas hanya mau menulis tiga baris kalimat. Selebihnya waktu ia habiskan untuk menggambar.
Bagaimana menghadapi mereka? Tentu saja guru harus mengubah mereka pelan-pelan dan penuh kesabaran. Cari tahu apa yang diminati. Jika anak tersebut suka menggambar, guru bisa mengaitkan tulisan tersebut tentang gambar yang disukainya dan disesuaikan dengan capaian pembelajaran yang ada di modul ajar.Â