Awan menggantung mendungnya sore ini. Aku gegas menuju rumah sebelum hujan mengguyur tanah bumi.
Berlari kecil aku menuju tempat tinggalku. Sesekali bertegur sapa dengan orang yang aku kenal.
"Mau saya boncengkan Mbak Arum?" Seorang pemuda desa mendekatiku dengan sepeda motor maticnya.
"Tidak usah. Terimakasih. Sekalian olahraga sore." Tolakku karena sungkan dan enggan menjadi buah bibir warga kampung.
Aku membawa kantong plastik hitam ditangan. Senyum mengembang dibibirku selama perjalanan.
"Assalamualaikum." Aku mengucap salam, namun tidak ada yang menyahuti.
Pintu kudorong dan ternyata tidak terkunci. Kulangkahkan kaki berniat menemui ibu. Namun, kakiku berhenti dibalik bilik bambu yang menjadi dinding rumah kami. Terdengar celotehan adik bungsuku.
"Bu, lihat..lihat.." serunya pada Ibu yang ku intip sedang memilah daun singkong muda.
"Bagus tidak?" Pina adik perempuanku yang berusia enam tahun mematut dirinya dihadapan ibu.Â
Gamis coklat yang warnanya sudah sedikit pudar, menutupi tubuh mungilnya.
"Bagus. Cantik." Puji Ibu yang usianya sudah berkepala empat. Bibirnya membentuk bulan sabit.