Mohon tunggu...
Endah Raharjo
Endah Raharjo Mohon Tunggu... -

~...~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Kenanga di Halaman Belakang

16 Oktober 2014   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:47 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu Bobi memacu sepeda motornya bagai pembalap kalap. Sesuatu telah membuatnya ketakutan melebihi kehilangan nyawanya. Ia ingin segera sampai di rumah barunya, di pinggir kota.

"Bobi ...!" seru Kiki, raba-rubu membuka pintu. Perempuan lajang 26 tahun itu hapal suara sepeda motor adiknya. Ia khawatir. Pikirnya, pasti ada hal genting yang membuat si pendiam itu memasuki halaman rumah dengan raungan mesin sepeda motor yang menggetarkan kaca-kaca jendela.

"Gawat, mbak. Gawat. Kacau. Gawat. Kacau ...." Bobi bergumam seolah merapal mantra.

"Ada apa? Tenang, Bob." Kiki merengkuh lengan pemuda 20 tahun itu, mendudukkannya di kursi tengah tempat mereka menonton TV dan menerima kunjungan sahabat serta keluarga.

"Kita bakal ketahuan, Mbak. Gawat." Lelaki muda yang memilih bekerja selulus SMA itu menggigil. Dua tangannya meremas-remas rambut ikalnya. "Kita bakal ketahuan ...." Lirih suaranya meremangkan bulu tengkuk kakaknya.

"Ada apa, Bob?" Kiki bersimpuh di depan adiknya, lembut memegangi dua lututnya.

"Pohon kenanga kita sudah ditebang. Pemilik rumah itu mau membongkar halaman belakang. Rumah itu mau ditingkat," desis Bobi. "Pagi tadi tukangnya sudah mulai menggali tanah buat pondasi." Tubuh jangkung kurus itu gemetaran.

Kiki bangkit, lalu duduk mepet adiknya. Lengan kanannya ia rangkulkan ke pundak lelaki yang senantiasa ia lindungi itu. "Kita akan baik-baik saja. Yakinlah, Bob. Kita akan baik-baik saja. Kalau sampai terjadi apa-apa, Mbak Kiki tidak akan sembunyi. Mbak Kiki akan menanggungnya."

Berkata begitu tangan kanan Kiki mengusap-usap punggung Bobi dan tangan kirinya membelai tangan adiknya yang kaku mencengkeram lutut.

**


Tiga belas tahun silam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun