Mohon tunggu...
endah prabawati
endah prabawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - M

Hobi jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Self Diagnose

20 September 2022   21:30 Diperbarui: 20 September 2022   21:34 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kami mendapati banyak sekali informasi seputar self-diagnose melalui situs di internet. Kami menemukan setidaknya ada empat efek self-diagnose melalui internet. Yang pertama, cognitive effects. Efek self-diagnose terhadap aspek kognitif membuat seseorang kebingungan mengenai penyakit yang mereka derita. Selain itu, cognitive effects dapat memunculkan persepsi diri mengenai kelainan. Seseorang menganggap dirinya tidak normal atau bahkan menderita penyakit serius yang membuat dirinya mengalami kesulitan hingga rasa putus asa. Kedua, affective effects. Self-diagnose akan menyebabkan seseorang mengalami tekanan fisik dan emosional. Mereka meyakini tantangan yang akan dihadapi di masa depan, termasuk prospek akademik dan kegiatan yang biasa dilakukannya dulu tidak akan lagi berjalan baik di masa depan (Ahmed & Samuel, 2017).

Selanjutnya behavioral effects yang umumnya menimbulkan maladaptasi sosial. Namun, perilaku ini masih kurang jelas apakah benar merupakan hasil dari self-diagnose atau kondisi aktual yang dia alami saat mendapatkan diagnosis tersebut. Dan yang terakhir positive effects. Self-diagnose bukan hanya dikaitkan dengan hal yang negatif saja. Di sisi lain, seseorang mendapatkan manfaat akademis tertentu dan memberikan motivasi untuk membandingkan gejala dan risiko yang yang dideritanya dengan orang lain. Hal ini menjadi salah satu cara belajar yang ampuh tersimpan di memori mereka.Hasil lain dari melakukan self-diagnose yaitu dapat membuat seseorang lebih berempati satu sama lain yang menjadi alasan mereka saling memberikan semangat dan dukungan (Ahmed & Samuel, 2017).

Individu cenderung melakukan self-diagnose untuk memberi kepuasan pada diri mereka sendiri. Dengan mencari masalah yang sedang dihadapi melalui internet, seorang individu merasa dapat memberi pertolongan pada diri sendiri (Gass, 2016). Namun sebaliknya, jika hal ini terus berlangsung dapat menyebabkan kekhawatiran apabila informasi yang ditemukan tidak cocok untuk dirinya, namun ia merasa informasi yang didapat sama seperti yang ia rasakan.

Individu yang merasa dapat melakukan kendali atas dirinya cenderung melakukan self-diagnose. Ia akan merasa lebih nyaman saat mengobati dirinya sendiri, serta merasa bisa memanajemen dirinya sendiri tanpa bantuan ahli (Jutel, 2018). Hal ini tentunya dapat menyebabkan seorang individu merasa lebih pandai dari ahli, sehingga seorang individu merasa lebih nyaman sebelum bertemu ahli untuk melakukan pengobatan atau terapi.

Merasa memiliki clinical background yang merupakan pengetahuan klinis yang didapat seseorang melalui akademik dan yang lain juga dapat menjadi salah satu penyebab seorang individu melakukan self-diagnose. Dapat dilihat dari orang yang mempelajari psikologi abnormal cenderung melakukan self-diagnose terutama yang berhubungan dengan penyakit mental (Ahmed & Samuel, 2017). Dengan memiliki clinical background seorang individu merasa sesuatu yang ia anggap benar adalah kenyataannya, padahal hal tersebut belum tentu benar. Hal ini mungkin terjadi pada seseorang yang baru mempelajari hal-hal baru di bidangnya.

Pada umumnya, semua hal yang terjadi bisa disebabkan oleh pengalaman atau peristiwa hidup sebelumnya. Hal ini juga dapat menjadi penyebab seseorang cenderung melakukan self-diagnose karena mereka merasa telah mengetahui atau merasakan hal itu sebelumnya (Ahmed & Samuel, 2017). Misalnya, ketika di keluarga seorang individu ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung, maka ketika individu tersebut mengalami nyeri pada bagian dada, ia akan cenderung mendiagnosis dirinya mengalami penyakit jantung dan hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran pada individu tersebut.

Kami juga menemukan sebuah istilah penting yang perlu diketahui yakni Cyberochondria. Cyberchondria merupakan salah satu dampak buruk terhadap mental seseorang yang terlalu sering melakukan diagnosa diri. Sering mendiagnosa melalui artikel-artikel yang tersedia dan terbiasa menggeneralisasi gejala dapat berdampak fatal apabila terdapat detail terlewat yang hanya diketahui oleh dokter. Selain itu, tidak semua artikel di internet merupakan evidence based medicine (EBM) yang membuat informasi di dalamnya tidak bisa dipertanggungjawabkan (Akbar, 2019).

Individu yang mengalami cyberchondria kemungkinan besar mengalami distress dan kecemasan setelah membaca informasi-informasi dari internet, namun sebagian kecil individu justru merasa tenang apabila mengetahui gejala yang dimiliki bukan gejala penyakit yang berat, hal ini terkadang bisa membahayakan apabila beberapa gejala terlalu sering digeneralisasi (McMullan, Berle, Arnaez, & Starcevic, 2018). Langkah terbaik untuk menghindari resiko yang berat memanglah memeriksakan diri ke dokter, psikolog, ataupun seorang profesional di bidangnya.

Self-diagnose tentunya dapat kita atasi dengan selektif dalam mengambil informasi mengenai kesehatan kita (Georgekopolou & Stavroula, 2017). Kita tidak boleh menelan mentah informasi kesehatan terutama penyakit yang berkaitan dengan keluhannya. Kita perlu mengetahui bahwa laman penyedia informasi tersebut apakah kredibel atau tidak. Jika kita masih memiliki sebuah kekhawatiran, kita harus berani mengambil keputusan untuk berkonsultasi pada ahli. Individu yang telah mendiagnosis dirinya sendiri perlu berdiskusi satu sama lain dengan ahli agar yakin terhadap diagnosis yang diberikan kepadanya dan mengurangi rasa khawatir yang dialami (Santosa, Purwadianto, Sidipratomo, Pratama, & Prawiroharjo, 2018).

Setelah berkonsultasi dengan ahli, kita harus yakin tentang diagnosa yang telah disimpulkan dan mengikuti saran yang telah diberikan (Georgakopoulou, 2017). Jika ahli yang mempelajari sedemikian banyak penyakit kadang tidak sepenuhnya mengetahui hal-hal detail dari suatu penyakit. Apalagi pasien yang berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda, tidaklah mungkin sepenuhnya memahami suatu penyakit sedetail apa pun artikel yang dibacanya, itu pun bila artikel tersebut adalah artikel berkualitas yang berdasarkan bukti medis. Logika dan penalaran medis adalah sesuatu yang harus dipelajari secara khusus selama bertahun-tahun serta ditempa oleh pengalaman dalam periode yang lebih lama lagi, sehingga tidak mungkin dikuasai hanya dari membaca selama beberapa menit. Maka dari itu, kita harus mengikuti saran ahli  (Santosa, Purwadianto, Sidipratomo, Pratama, & Prawiroharjo, 2018).

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun