Baru-baru ini, Gus Miftah menuai kritik setelah pernyataannya terhadap seorang penjual es teh viral di media sosial. Dalam sebuah acara pengajian di Magelang, Jawa Tengah. Gus Miftah melontarkan ucapan yang dianggap netizen merendahkan sang penjual. Meski Gus Miftah mengklaim ucapannya hanya bercanda, reaksi publik menunjukkan kemarahan karena dianggap tidak menghormati perjuangan pedagang kecil. Bahkan, desakan agar ia dicopot dari jabatan sebagai Utusan Khusus Presiden semakin menguat setelah video tersebut ramai diperbincangkan. Dalam konteks ini, penting untuk menganalisis bagaimana insiden tersebut berhubungan dengan digital skills, digital ethics, dan digital culture.
Digital skill merujuk pada kemampuan seseorang dalam menggunakan teknologi digital secara efektif. Dalam kasus Gus Miftah, tindakannya mengolok-olok penjual es teh menunjukan kurangnya pemahaman akan dampak dari kata-kata yang diucapkannya di depan publik. Sebagai seorang tokoh publik seharusnya memiliki keterampilan digital yang baik untuk memahami bagaimana setiap perkataan yang diunggah di media sosial dapat menyebar dengan cepat dan mempengaruhi persepsi masyarakat. Jika ia memiliki keterampilan ini, Gus Miftah seharusnya lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dan memilih kata-kata yang tidak menyinggung orang lain.
Selain itu, digital skill mencakup kemampuan untuk berinteraksi secara etis di dunia maya, seperti pengelolaan konten di media sosial dan analisis data dari respons netizen. Kemampuan ini penting bagi tokoh publik atau timnya untuk menilai dampak suatu unggahan dan merespons dengan langkah bijak. Dalam hal ini, Gus Miftah tampaknya gagal mempraktikkan interaksi etis yang sesuai dengan pengaruhnya sebagai pendakwah. Mengingat posisinya, seharusnya ia dapat memberikan contoh yang baik, terutama dalam berinteraksi dengan masyarakat lapisan bawah seperti pedagang kecil. Ketidakmampuan untuk melakukan hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap tanggung jawab yang menyertai pengaruh digital.
Kasus ini menyoroti pentingnya digital ethics atau  etika digital yang melibatkan penghormatan terhadap sesama, baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Sebagai tokoh agama, Gus Miftah seharusnya dapat menjadi teladan dalam menerapkan adab dan moral, khususnya saat berinteraksi dengan masyarakat kecil seperti penjual es teh. Ucapannya, sangat tidak pantas karena terkesan merendahkan perjuangan seseorang yang sedang berusaha mencari nafkah. Hal ini mencerminkan kurangnya empati dan ketidaksesuaian dengan standar etika digital yang semestinya dijunjung oleh seorang tokoh agama. Sebagai figur publik, ia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga sikap dan tutur kata, terutama di hadapan khalayak luas.Â
Di sisi lain, warganet juga memegang peran penting dalam menciptakan lingkungan berbasis digital yang sehat. Kritik yang disampaikan harus konstruktif dan bebas dari ujaran kebencian agar tidak memperkeruh suasana atau merusak reputasi seseorang secara berlebihan. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa menjaga etika dalam berinteraksi dan bersosial, baik di dunia nyata maupun digital, adalah tanggung jawab bersama. Dengan menciptakan dialog yang sehat dan edukatif, kita dapat membangun keharmonisan sosial sekaligus menjadikan media digital sebagai ruang yang lebih positif dan inklusif.
Dalam konteks digital culture atau budaya digital Indonesia, media sosial sering berfungsi sebagai ruang diskusi terkait isu-isu yang menyentuh aspek keagamaan dan budaya. Reaksi besar terhadap kasus Gus Miftah menunjukkan sensitivitas masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, terhadap perilaku atau ucapan yang dinilai tidak mencerminkan nilai agama, seperti rasa hormat, empati, dan solidaritas. Media sosial menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk menyuarakan pandangan mereka, baik berupa kritik maupun dukungan, dengan landasan prinsip keagamaan dan kebudayaan lokal.
Selain itu, budaya digital Indonesia mencerminkan nilai-nilai tradisional yang menghormati norma sosial. Respon publik terhadap candaan Gus Miftah memperlihatkan bahwa kebebasan berekspresi di ruang digital tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai adat dan agama. Namun, budaya digital ini juga membawa tantangan baru, seperti fenomena cancel culture, yang seringkali mengabaikan prinsip tabayyun dalam Islam, yaitu memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Hal ini menyoroti upaya masyarakat untuk menyeimbangkan antara nilai agama dan dinamika budaya digital yang terus berkembang.
Kasus Gus Miftah memberikan pelajaran penting tentang pentingnya digital skills, digital ethics, dan digital culture dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi tokoh publik di era teknologi informasi. Sebagai pendakwah, ia dituntut untuk memahami dampak dari setiap perkataan yang diunggah ke ruang digital, menunjukkan empati, dan mematuhi standar etika digital. Di sisi lain, warganet juga perlu mengedepankan kritik yang konstruktif agar lingkungan digital menjadi ruang yang sehat dan inklusif. Respons masyarakat terhadap kasus ini mencerminkan budaya digital Indonesia yang erat kaitannya dengan nilai-nilai keagamaan dan tradisional, namun tetap menghadapi tantangan modern seperti cancel culture. Dengan kolaborasi antara penguatan etika dan literasi digital, ruang maya dapat berkembang menjadi media yang mendukung harmoni sosial sekaligus memperkuat nilai-nilai kebudayaan dan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H