Ia selalu bercerita dengan gaya bahasa tingkat tinggi, tetapi percayalah, itu tidak membuat kening kita berkerut untuk memahaminya. Ia menghadirkan keindahan dan keanggunan, seperti bahasa priyayi, bukan berarti meninggikan derajat diri sendiri, tetapi penghormatan lebih untuk lawan bicaranya. Dan seperti karya sastra Tasaro GK yang sudah-sudah (Galaksi Kinanthi, Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan, Samitha, Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta), usai membaca Citra Rashmi membuatku tak kunjung lepas dari kesan mendalam.
Sejarah mencatat Citra Rashmi sebagai Dyah Pitaloka, putri Sang Prabu Linggabuana dari Tatar Sunda yang akan dipersunting oleh Hayam Wuruk, namun Perang Bubat menghempas mimpi perhelatan agung itu; Gajah Mada terlanjur menghabisi pasukan tamu calon besan Kerajaan Majapahit demi mimpi besar penyatuan Nusantara. Sementara para wanita termasuk Citra Rashmi dikabarkan bunuh diri untuk menjaga harga diri pasca kekalahan bela pati/ puputan. Dari sinilah cerita bergulir kembali ke masa lalu, tentang Citra Rashmi yang tidak melulu menjalani kehidupan sebagai putri mahkota yang menyenangkan oleh gelimang harta dan mulia karena pengabdian dayang-dayang, tetapi justru sarat petualangan, penuh intrik yang dilancarkan ayahnya untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Satu episode masa kecil Citra Rashmi mengantarkannya berganti nama menjadi Sannaha, dikirim Linggabuana seolah untuk berguru pada seorang bijak dan berilmu kanuragan tinggi bernama Candrabhaga, sekaligus sengaja dimanfaatkan oleh Sang Prabu menjadi agen spionase di padepokan lereng Pangrango itu karena disinyalir membawa ajaran yang membahayakan kekuasaan Linggabuana. Konflik batin dan dilema dialami oleh Sannaha, satu sisi seolah ada kewajiban untuk berpihak pada ayahnya, sisi lain keikhlasan telah mendominasi hati untuk menghormati sang guru.
Episode masa kecil lainnya, Citra Rashmi dikisahkan menjadi korban penculikan Yaksapurusa; tokoh antagonis, begundal, otak pemberontak yang bertahun menjadi ancaman kekuasaan Linggabuana. Tetapi justru dari sinilah tumbuh benih cinta antara Citra Rashmi dengan Purandara, anak tunggal Yaksapurusa. Purandara yang arogan, beringas, dan tak tahu aturan, begitu saja terbius pesona kuat sang putri, menanggalkan segala predikat buas yang terlanjur melekat pada dirinya ketika 'kekuatan langit' seolah tak mampu menolak pertemuan mereka berdua setelah terpisah hampir sepuluh tahun. Pun perasaan Purandara tak bertepuk sebelah tangan, Citra Rashmi tidak menampakkannya secara terang-terangan, tetap bertahan dengan apa adanya dirinya yang digambarkan angkuh, pongah dan super gengsian. Dan Tasaro GK mengemasnya begitu menarik, menggiring perasaan pembaca untuk mendukung kisah cinta mereka meski berseberangan. Aku tak sabar menyelesaikan seperempat bagian terakhir ketika Citra Rashmi dan Purandara kompak dalam beberapa pertarungan, seolah kekuatan mereka berdua disatukan oleh perasaan. Tasaro GK tidak menggambarkannya dalam kalimat cinta menye-menye dan bikin ngilu, tetapi dengan keindahan bahasa yang elegan.
Aku menikmati ketika Tasaro GK begitu detail mendiskripsikan bahasa pertarungan dalam gerakan jurus ilmu kanuragan. Sakti. Hidup. Dan so wow aja gitu. Sempet kepikiran sama visualisasi sinetron kolosal yang konsisten diusung salah satu TV swasta nasional, tapi semoga sih kalau novel ini difilmkan efek-efek terbang ketika beradu pedang bisa jauh lebih keren-able ketimbang manipulasi permadani terbang ala jaman jin dan jun. Atau penggambaran kostum vernakular yang nggak melulu kain-kemben tetapi perlu juga menampilkan gaun-gaun sutra ala kerajaan, sebelas dua belas sama kostum tradisional Korea dalam princess hour, misalnya.
Kisah konspirasi Citra Rashmi tak sekedar konflik segitiga antara Yaksapurusa-Linggabuana-Candrabhaga, sepak terjang dan dominasi tokoh yang berseberangan; Dewi Pwahaci selaku selir sang prabu, tak segan menggunakan segala cara untuk merebut kursi mahkota. Bagi Citra Rashmi, bersedia diperistri oleh penguasa Wilwatika (Majapahit) adalah bukan berarti janji untuk kebahagiaan diri sendiri, tetapi seolah menjadi alat tukar untuk mempertahankan kehormatan kedaulatan Kerajaan Sunda. Dan Citra Rashmi menampilkan peranan pentingnya, berani mengadu kekuatan kanuragan terlebih dengan kecerdasannya, bermain cantik untuk mempertahankan harga diri di depan kekuasaan ayahnya sendiri dan Dewi Pwahaci.
Akan lebih menarik apabila cerita bergenre historical fiction ini dilengkapi dengan visualisasi peta kekuasaan wilayah Kerajaan Sunda, letak geografis tempat-tempat yang disebutkan dalam setting novel seperti Sungai Taruma -apakah sekarang berubah nama menjadi Sungai citarum?- atau Kawali yang disebut-sebut sebagai Kota Raja yang konon tereksisting pada segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Pangrango yang semakin membuatku gemas dan penasaran karena belum kesampaian mendakinya, apakah benar ada petilasan padepokan Candrabhaga di salah satu titik lerengnya?
Penyakit lama selepas membaca novel bagus, aku sering merasa sulit beranjak move on. Seperti kali ini, seolah ikut larut bersama Citra Rashmi, secara otomatis terjerat pesona Purandara, terkenang untuk beberapa hari ke depannya. Tentu saja aku tak sabar membaca buku kedua, berharap keajaiban perubahan cerita sejarah, siapa tahu Tasaro berkehendak mengubah skenario Citra Rashmi tidak benar-benar mengakhiri hidupnya dengan menusukkan pedang ke dadanya. Ya kalik yang tertulis di dokumen sejarah kidung sunda dan kitab pararaton selama ini cuman semacem lipsync.. hehe!
Judul : Citra Rashmi
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Qanita
Tebal Buku : 624 Halaman
Tahun Terbit : Cetakan I, September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H