Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Memaknai Hidup dari Balik Pesona Arjuno

5 Januari 2014   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia terbujur kaku. Memucat tanpa bau menyengat. Barangkali karena suhu di ketinggian ribuan mdpl ini cukup dingin dan membekukan, mengesampingkan aroma tak sedap. Beberapa dari kami hati-hati mendekat, mencoba mencari tahu waktu dan penyebab kematian. [caption id="attachment_288415" align="aligncenter" width="491" caption="the peak moment"][/caption]

Titik tinggi ini dinamakan Ogal Agil, 90% tersusun oleh bebatuan yang bergoyang apabila tertiup angin. Pagi hari 19 Mei 2013, kami berenam, aku, Fe, Kumi, Aris, Ijef dan Doni, penuh syukur ketika berhasil menginjakkan kaki di Puncak Gunung Arjuno, UPT Tahura R. Soerjo Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Angin terasa dingin, bertiup kencang, tetapi matahari mengimbang ironi penuh kehangatan. Sejuk. Biru langit membentang seluas mata memandang dalam 360 derajat. Semua begitu antusias mencoba mengenali daerah di bawah sana, atau puncak-puncak tetangga yang cukup iconic; Mahameru beserta gugusan pegunungan Tengger, Welirang yang berdiri gagah 'hanya' sepelemparan pandang, dan Penanggungan yang seolah menjadi miniatur Semeru. Keindahan kontur alam yang tak henti membuat kami berucap dalam nada syukur dan tasbih. Merah Putih berkibar, menebalkan nasionalisme setiap yang melihatnya. Sunrise memang enggan menunggu kedatangan kami hingga puncak (karena kami sempat tersesat beberapa saat), namun berkas sinarnya begitu indah dinikmati dari punggungan bukit di perjalanan.

[caption id="attachment_288416" align="aligncenter" width="576" caption="Welirang, dari sepelemparan pandang Arjuno"]

13888969751644551103
13888969751644551103
[/caption]

Ini bukan kesempatan pertamaku mendaki gunung, tetapi bertemu sesosok mayat di titik 3339 mdpl ini adalah pertama kalinya, sekaligus menjadi pengalaman mendaki tak terlupakan. Fe, yang paling berkompeten memeriksa karena dunia kebidanan menjadi profesinya, mengamati dan sebisa mungkin menjaga keutuhan segala sesuatu di cerukan bebatuan sebagai TKP. Setelah beberapa saat, kami memutuskan turun dari puncak, meninggalkan mayat sendirian karena tidak capable mengevakuasinya, di samping tentu saja skill dan peralatan kami jauh dari taraf memadai untuk membawa mayat turun gunung.

[caption id="attachment_288418" align="aligncenter" width="614" caption="Mahameru dari Puncak Ogal Agil Arjuno"]

13888971171048389879
13888971171048389879
[/caption]

Berbagai dugaan terlintas di pikiran kami; kenapa ia sendirian? pembunuhankah? Kecelakaan? Atau alasan klise hypothermia? Kami lebih banyak terdiam di perjalanan turun menuju Pos Pondok Lirang, camp terakhir tenda team kami didirikan sebelum summit attack. Kami informasikan penemuan mayat di puncak ini ketika bertemu dua orang pendaki wanadri, mas Irfan dan mas Doni. Dari keduanya kami peroleh contact person posko pendakian untuk melaporkan penemuan mayat ini supaya dapat segera ditindaklanjuti.

Namanya Eko Wahyudi, pendaki dari Depok yang berangkat bersama teamnya sebanyak 13 orang beberapa hari sebelum teamku berangkat. Karena alasan cuaca, mereka mengurungkan niat untuk mencapai puncak dan memilih nrimo bertenda di area kebun teh lawang, jalur yang berbeda dengan pendakian Tretes yang dipilih teamku. Entah apa yang membuat Eko meninggalkan rombongan, berpamitan dengan alasan berfoto di sekitar area kebun teh, namun justru memutuskan muncak sendirian dengan bekal yang seadanya. Hypothermia dan kehabisan bekal dinyatakan sebagai penyebab kematiannya, setidaknya begitulah informasi yang belakangan dapat kami kumpulkan. Team SAR pun sudah bergerak dari posko pendakian Lawang setelah menerima berita penemuan mayat.

Belakangan kegiatan outdoor dan pendakian begitu diminati, gunung dan taman nasional sebagai opsi destinasi wisata Indonesia Travel, seolah menjadi happening lifestyle seiring dengan maraknya kegiatan backpackering. Orang mau bersusah payah demi mendaki gunung, sebagian karena jenuh dengan rutinitas, mencoba hal-hal baru yang tidak mainstream, atau boleh jadi memang karena tuntutan profesi. Untukku pribadi, mendaki tidak melulu tentang kepuasan. Mendaki adalah bentuk pembelajaran. Bukan gunung yang ditakhlukan, tetapi justru kesabaran yang dipertahankan ketika dihimpit sempit dan lelah, menempa diri berjuang mencapai titik yang lebih tinggi selangkah demi selangkah, mengesampingkan ego pribadi demi lebih memilih safety first dan kepentingan bersama. Bahwa kembali pulang dengan selamat setelah pendakian adalah jauh lebih membanggakan daripada harus dikabarkan tinggal nama dari atas ketinggian. Bisa mengenang perjalanan dan berbagi pengalaman yang barangkali bermanfaat untuk orang lain adalah menyenangkan ketimbang menjadi objek berita duka.

Mendaki gunung bukan sebuah kegiatan sepele tanpa resiko, apalagi mengingat belakangan banyak beredar berita pendaki hilang dan bahkan meninggal bertaruh nyawa dalam perjalanan menuju puncak. Tidak hanya Eko, sebut saja Shizuko Rizmadhani (15) dan Endang Hidayat (53), keduanya meninggal dalam pendakian gunung yang berbeda (Gede Pangrango dan Semeru) hanya berselang dalam hitungan hari di penghujung tahun 2013. Belajar dari kejadian Eko, Shizuko dan Endang, kegiatan mendaki tidak dijadikan momok untuk ditakuti, hanya perlu berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan lebih.

Mendaki di musim hujan tentu saja harus bisa lebih survive terhadap cuaca. Disamping raincoat untuk badan, raincover untuk ransel, perlu diperhatikan 'ritual' packing barang di dalam ransel. Ada baiknya meletakkan barang-barang bawaan di dalam drybag sebelum memasukkan dalam ransel meskipun sudah terlindung oleh cover. Beberapa raincover ransel tetap tembus air dalam kondisi hujan dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama. Bisa juga membeli plastik besar (trash bag), atau yang lebih sederhana lagi menggunakan plastik bekas belanja supermarket. Usahakan pakaian ganti dan sleeping bag terhindar dari air supaya ketika pakaian yang kita kenakan di lapangan terlanjur basah, kita bisa menghangatkan diri di dalam tenda dengan baju kering. Shizuko yang meninggal kedinginan bisa jadi karena mencoba bertahan dengan pakaian basah sementara pakaian ganti maupun kantung tidurnya tembus oleh air hujan selama perjalanan pendakian akibat kesalahan packing. Lain halnya dengan Eko, baju ganti dan perbekalannya seolah sengaja ditinggal di perkemahan yang jaraknya terlalu jauh dari puncak, sementara ia harus berjibaku dengan cuaca dingin terlalu lama tanpa pelindung. Aku sendiri lebih sering membawa jas hujan dobel, satu set untuk perjalanan selama pendakian (model baju) dan satu lagi model kelelawar/ ponco yang disamping berguna untuk flysheet, penutup atau alas ransel apabila harus diletakkan di luar tenda ketika quota tenda mencapai maksimal menampung orang, juga berguna sebagai tenda darurat/ bivak ketika menemui badai (misalnya dalam perjalanan summit attack).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun