Dalam bayanganku, Kaldera megah Tambora membentang demikian agung dalam presisi angka tujuh kilometer, sebuah saksi sejarah kedasyatan letusan yang diklaim mematikan kala itu.
[caption id="attachment_218907" align="aligncenter" width="604" caption="titik tertinggi yang dicapai team meci angi"][/caption] 26 Desember 2012. Pagi itu, aku, mas Anta, Shopie, Adhi dan Dhanang sudah bersiap untuk bertolak menuju Calabai dari basecamp Mapastie Yapis Dompu, tempat kami diberi tumbangan secara 'lambo ade', ibaratnya seperti "monggo dipun sekecaaken, nyuwun pangapunten sawontenipun" dalam krama inggil Jawa. Atau kalau di-convert dalam bahasa semacam istilah mempersilakan sepenuh hati dalam kesederhanaan. Setidaknya begitulah sejauh pemahamanku. Buat kami, teman-teman Mapastie Yapis Dompu ini luar biasa istimewa, hanya berbekal link dari seorang bernama Bang Cimen aka Bang Rifad yang menyatukan kami dari dunia maya (teman dunia maya dari teman dunia maya yang lain, istilahnya kalau di multilevel marketing sudah downline ber-downline) cukup membuat mereka begitu antusias menjamu kami; Team Laskar 'Meciangi' yang berniat mendaki Tambora. Vocab 'meciangi' sendiri kami 'kulak' dari bahasa lokal Dompu. Meci artinya makin, angi bisa berarti sayang bisa juga berarti angin, meci angi dianggap sebagai istilah semakin sayang atau makin terkiwir-kiwir (mohon ralat kalau aku salah). Kisah di balik Meciangi tidak terlalu menarik, hanya karena jaketku yang dipakai Adhi, sedikit ku-complain dengan basah keringat yang menempel di jaket, tapi adhi dan teman-teman malah membuliku dengan istilah meciangi karena keringat adhi. Dari sinilah muncul istilah Adhi sebagai adek meciangi kami buat rame-rame. Pukul 07.00 WITA. Ketika aku sudah mulai panik akan tertinggal bis, karena Bang Anas, salah satu pentolan Mapastie Yapis Dompu yang menjanjikan diri mengawal kami belum juga setor muka pagi itu. Sedikit membuat perasaan lega ketika Santy, team Mapastie Yapis Dompu yang lainnya, muncul dengan gear mendaki yang menurutku sangat pendekar sekali; sendal jepit, daypack dan celana pendek. Sementara kendaraan minibus yang beroperasi menuju Calabai hanya jalan 2 kali dalam satu hari, pagi jam 07.00 dan jam 14.00. Santy bertindak cepat, segera menuju Terminal Ginte dan berhasil meng-hold keberangkatan bis hingga team kami lengkap siap terangkut. Bang Anas muncul sebelas-dua belas dengan kostum Santy, semacam sepasang pendekar Brama Kumbara-Mantili di sandiwara radio. [caption id="attachment_218908" align="aligncenter" width="404" caption="mejeng di atas atap minibus"]
[/caption] Aku tergelitik mengikuti jejak teman-teman untuk duduk di atas atap bis selama perjalanan Dompu-Calabai. Pengalaman baru menikmati pemandangan Pulau
Sumbawa dengan Teluk Saleh yang ombaknya begitu menenangkan. Minibus bergerak ke arah Barat Laut, menyusur pesisir pantai. Vegetasi mangrove menghias pemandangan. Binatang-binatang ternak seperti kerbau, sapi dan kambing seolah ter-
convetti sepanjang perjalanan. Aspal yang kami lalui tak sepenuhnya mulus, beberapa berlubang di beberapa titik membuat kami harus extra hati-hati berpegangan supaya tidak terguling dari atap bus. Belum lagi bentang kabel yang sesekali melintang di atas jalan, apabila terlena, bisa jadi siap menjerat kami. [caption id="attachment_218911" align="aligncenter" width="768" caption="Tambora yang malu-malu tertutup awan"]
[/caption] [caption id="attachment_218913" align="aligncenter" width="672" caption="binatang ternak terconvetti sepanjang perjalanan"]
[/caption] Lereng Tambora membentang dengan puncak yang malu-malu berselimut awan tebal. Jalan yang kami lalui seolah membelah padang savana kaki
tambora dalam dua bagian, sisi kanan merupakan dataran yang lebih tinggi yang berujung pada puncak, sisi kiri merupakan dataran level yang lebih rendah yang bermuara di teluk saleh. Sesekali kuda liar tampak mencari makan di sepanjang savana. Bukit teletubbies menjadi pelengkap kontur bentang lansekap Pulau
sumbawa kaki tambora. Vegetasi hijau khas savana nusa tenggara. Perjalanan Dompu-Calabai kami tempuh dalam waktu hampir lima jam dengan tarif Rp.30.000,00 per orang. [caption id="attachment_218915" align="aligncenter" width="604" caption="bukit teletubbies lereng tambora"]
[/caption] Turun di terminal Calabai, untuk mencapai Desa Pancasila, kami masih harus menempuh perjalanan dengan menggunakan jasa ojek seharga Rp. 20.000,00 per orang. Sebenarnya bus Dompu-Calabai melayani trayek hingga desa Kadindi (di atas Calabai) dan atau bahkan sampai desa Pancasila, tetapi bus hanya naik ke Desa Pancasila pada sore hari, untuk mengangkut penumpang esok harinya menuju Dompu. [caption id="attachment_218904" align="aligncenter" width="672" caption="team laskar meci angi minus aku"]
[/caption] [caption id="attachment_218927" align="aligncenter" width="460" caption="Rute
pendakian Tambora dari Desa Pancasila"]
[/caption] Rumah Bang Ipul (Saiful) begitu sederhana, di batas sempadan lahannya tersemat sebuah papan informasi bertuliskan Tambora Trek Centre. Dari Bang Ipul lah, orang yang dianggap dituakan untuk memegang kendali perizinan pendakian ini aku paham, kalau ternyata pendakian Tambora di musim hujan seperti ini sebenarnya tidak dianjurkan. Beliau sudah menolak beberapa team pendaki yang akan naik sebelum kami. Tapi berhubung team kami membawa pendekar sekaligus
kuncen Tambora (pendekar Anas dan Santy), Bang Ipul melepas kami dengan izin
aware dan wejangan panjang. Jalur licin, berlumut, penuh
pacet (lintah) dan vegetasi
jelatang yang rapat. Pos I kami tempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam, tentu saja lebih lama dari estimasi yang tercantum di papan Tambora trekking route, berhubung team kami yang menyandang
tagline super siput, plus Mas Anta yang
drop karena dilanda kantuk, plus lagi jalur yang terlanjur rapat tertutup oleh ilalang, membuat Bang Anas dan Santy ekstra kerja keras membabat hutan. Kami tidak membawa parang, jadi harus
survive menggunakan batang-batang pohon untuk membuka jalur. Dari desa Pancasila, Bang Anas membawa kami melewati jalur
shortcut, berbelok ke kanan, melewati perkebunan kopi penduduk dengan jalur lebar dan landai tetapi cukup becek
offroad, melewati beberapa kali percabangan hingga pintu rimba. Jangan dibayangkan di pintu rimba akan menjumpai
gate seperti di pintu Senaru Rinjani, karena Kawasan
Gunung Tambora masih berupa wacana untuk digodog menjadi Taman Nasional di tahun 2013 ini. Kami memulai mendaki di ketinggian kisaran 400-an Mdpl. Kami melewati rimbun vegetasi rindang, dengan sulur-sulur tumbuhan, kemudian sedikit menurun bukit, melewati pipa air yang sepertinya sengaja dibocorkan sedikit untuk berbagi ransum air bagi pejalan kaki/ pendaki. Beberapa kali harus ekstra hati-hati memilih pijakan karena jalur tersusun dari tanah liat padat yang sangat licin membuat kami rawan tergelincir. Bang Anas menginfo kami ketika melihat gubug panggung untuk para pemetik kopi, bahwa jalur yang kami lalui untuk mencapai Pos I baru setengah jalan, padahal menurutku, kami sudah berjalan cukup lumayan. [caption id="attachment_218916" align="aligncenter" width="672" caption="pacet"]
[/caption] Ancaman pacet sudah mulai terasa ketika mendekati Pos I. Sepanjang jalur, Bang Anas dan Santy yang berpakaian celana pendek beberapa kali berhenti untuk membuang pacet-pacet yang terlanjur menempel di sepanjang kaki hingga betis. Aku memilih cuek dengan pacet yang rela berjuang menembus pertahanan kakiku beberapa lapis; gaiter, sepatu, dan celana panjang yang dimasukkan ke dalam kaos kaki. Kalau memang harus mendonorkan darah, biarlah. Tiba di pos I, Mas Anta langsung tertidur, sementara yang lain sibuk mengoperasi pacet. Alhamdulillah, kakiku selamat dari ancaman donor darah. Tapi karena kami harus
ngecamp di sini, secara otomatis sepatu dan segala
uborampe pendakian harus ditanggalkan, tidak bisa dihindari, tempelan pacet harus mampir di kaki, kadang tidak terasa hanya meninggalkan bekas pendarahan. [caption id="attachment_218917" align="aligncenter" width="672" caption="korban pacet"]
[/caption] Adhi mendirikan tenda. Setelah makan malam yang hangat, istirahat pun disegerakan. Sebagian memilih tidur di shelter berbalut sleeping bag. Suhu tidak sedingin
gunung-gunung di jawa, mungkin karena ketinggian yang masih berkisar di level 1200 mdpl. Di luar tenda, hujan masih mengguyur kami. Seumur-umur, baru sekali ini acara I di belantara hutan membuatku merasa
spooky dan
scary. Kehidupan binatang besar/ buas terasa begitu berdekatan denganku. Beberapa kali, entah nyata, entah halusinasi, langkah-langkah berat seperti melewati sisi tenda. Membuat nyaliku ciut untuk sekedar membuka tenda, menguak keberadaan makhluk yang terhijab oleh lembaran kain parasit. Tambora malam itu benar-benar terasa milik team kami, tak ada pendaki lain. 27 Desember 2012 [caption id="attachment_218918" align="aligncenter" width="404" caption="pos II, bersujud di antara rapatnya hutan Tambora"]
[/caption] Selesai sarapan dan bersih-bersih, -kebetulan Pos I begitu dekat dengan sumber air bersih, bahkan bang Anas sempat mandi di pancuran-, team kami begitu santai melanjutkan perjalanan. Bang Anas dan Santy semakin bekerja keras membimbing team ini, jalur semakin rapat dan lebih menanjak. Pos I hingga pos II kami masih berkubang pada ancaman pacet tak berkesudahan. Seperti halnya dengan Pos I, Shelter di Pos II berdekatan dengan sungai yang airnya sangat jernih dan layak konsumsi. Di ketinggian 1280 mdpl, Aku sedikit nggak terima dengan trek yang terasa lebih menanjak, tetapi diukur dari pos I kami hanya naik sekitar 80 mdpl. Sungguh, aku membenci turunan di jalur perjalanan naik. Pos II hanya menjadi persinggahan sementara, setelah kenyang dan beribadah, kami melanjutkan perjalanan. Bang Anas berjanji, kalau sudah melihat jajaran cemara, artinya pos III sudah dekat. Tapi rasa-rasanya kami seperti terjebak di dalam belantara hutan tak berkesudahan. Jalur rapat, tumbuhan murbei dan pakis berduri, halang rintang yang semakin sering, pohon tumbang, merayap, tertahan duri-duri rotan, dan sebagainya. Santy memetik pucuk pakis yang konon katanya bisa dijadikan sayuran di sepanjang perjalanan. Diam-diam aku belajar
survival darinya. Jajaran cemara mulai terlihat mengintip dari balik rimbun hutan. Bang Anas menyemangatiku. Adhi di belakangku sudah mulai
complain dengan jarak yang kubuat semakin lebar antara aku dengan entah Shopie, entah Dhanang yang berjalan di depanku. Di sebuah punggungan yang sedikit terbuka, Shopie menunjuk ke arah langit. Pelangi hadir melengkungkan warna indahnya, membuatku tak tahan untuk tetap menyimpan kamera dari dalam kehangatan deuter merah. [caption id="attachment_218921" align="aligncenter" width="672" caption="pelangi di bawah pos III"]
[/caption] Pos III di ketinggian 1600 mdpl menjadi persinggahan kami kembali menghamparkan tenda. Aku sampai belakangan karena rempong
capturing pelangi sebelumnya ditemani Dhanang. Adhi dan mas Anta sudah langsung
ngligo buka baju, yang lain sudah sibuk menjemur-jemur property. Beberapa pacet masih singgah terbawa, tetapi tidak sebanyak di pos-pos sebelumnya. Hari tiba-tiba sudah berangsur gelap. Setelah makan malam, pukul 20.00 WITA bergegas untuk
saving energy, bersiap untuk perjalanan
summit attack nanti malam. Gerimis masih setia hingga kisaran satu jam kedepan. Selanjutnya cahaya bulan begitu bersahabat menjadi penerang malam. Semoga cuaca cerah berpihak kepada kami nanti. [caption id="attachment_218925" align="aligncenter" width="576" caption="Pos III"]
[/caption] Mataku tak kunjung terpejam, rasanya hanya sempat terlelap tak lebih dari setengah jam, selanjutnya terbangun kembali karena menahan hawa ingin pipis. Aku kembali menjadi pecundang yang takut pada gelapnya malam. Tak berani ambil resiko menebar cairan urine di antara pohon-pohon yang tumbuh menjulang. Setengah jam sebelum alarm kesepakatan bangun berbunyi, aku memberanikan diri keluar tenda. Berbekal kalimat bismillah menunaikan hajat kecil. 11.30 WITA. Aku bersemangat menguprek setiap gulunganÂ
sleeping bag berisi tubuh teman-teman. Sebagian besar hanya berguling ganti posisi tidur. Akhirnya hanya aku dan Mas Anta yang ribet nyiapin perbekalan. Rempongnya memasak di atas papan panggung
shelter, sementara tubuh-tubuh lain masih tetap
mendelosor dengan sok unyunya. Nesting dimana, kompor dimana, logistik dimana, andai saja ada pemukul kasur buat akting ala ibu tiri. Sudah lewat tengah malam ketika kami memulai perjalanan
summit, setelah sebelumnya Mas Anta dan Dhanang yang gagal menemukan sumber airnya Pos III. Konon jalurnya sudah sangat tertutup dan penuh vegetasi berduri. Akhirnya kami berangkat dengan perbekalan air yang menipis, berharap mencukupi hingga mencapai Pos V.
Folded bottleku yant tergantung
carabiner terisi air kurang dari setengah. Itupun diminum Adhi sampai habis, padahal aku menahan haus dari Pos III hingga Pos V. Dhanang malah menjatuhkan botol tupperware Shopie jauh sebelum pos IV dan diluar pengetahuan kami. [caption id="attachment_218923" align="aligncenter" width="576" caption="daun jelatang"]
[/caption] Sinar bulan sesekali masih menerangi langkah kami menyisir jalur yang didominasi kebun jelatang. Kostum sudah dibuat setertutup mungkin, tapi daun jelatang sesekali masih tembus di kaos tanganku. Sakitnya luar biasa, nusuk sampai ke hati. Gatal dan panas berkepanjangan. Rute setapak yang kami lalui semakin nanjak dan semakin rapat oleh duri jelatang. Bang Anas, Santy dibantu Mas Anta begitu ekstra hati-hati membuka jalur. Beberapa kali jalur berupa titian pohon tumbang begitu licin dan harus dilalui dengan cara merangkak pelan. Sementara angin gunung terdengar begitu horor menghantui membawa bayang-bayang badai. Ya Allah, aku sungguh ingin cerah pagi ini. Serentet dzikir persembahan untuk permohonan kulafalkan sepanjang perjalanan sejauh yang aku bisa. Gerimis masih sesekali turun, berganti dengan sinar bulan yang kadang bersembunyi di balik awan hitam. [caption id="attachment_218924" align="aligncenter" width="404" caption="kebun jelatang dan jembatan batang pohon sepanjang lebih dari 10 meter setelah pos IV"]
[/caption] [caption id="attachment_218928" align="aligncenter" width="471" caption="Break at Pos IV"]
[/caption] Waktu subuh di pos V. Aku menunaikan kewajiban sholat di antara keterbatasan. Baju penuh keringat, tetapi hawa dingin cepat sekali menyerang ketika berhenti berjalan, Sementara Dhanang dan Mas Anta pergi mencari air. Bang Anas memanaskan air untuk membuat secangkir kopi. Selanjutnya, kami masih mencoba peruntungan summit, mencoba mendaki punggungan bukit demi punggungan bukit di atas Pos V. Adhi memutuskan berhenti di bawah pohon cemara besar. Di atas kami yang tersisa hanya kabut tebal berwarna abu-abu. Hujan tidak terlalu deras. Tapi angin berhembus sangat kencang. Jejak pohon-pohon tumbang di sekitar kami cukup membuat kami paham bahwa badai gunung tidak untuk diterjang. [caption id="attachment_218929" align="aligncenter" width="604" caption="view dari bukit di atas pos V"]
[/caption] "Tunggu dulu, barangkali habis ini cerah." katanya menenangkan. Bibirku masih penuh kata persembahan dzikir. "Ada yang adzan dong, plis, biasanya kalo hujan angin di rumah, bapakku adzan lalu hujan anginnya berhenti." kataku. Ah, sayang sekali tidak ada yang bersedia cukup berani untuk mencoba meng-adzan-i badai ini. [caption id="attachment_218930" align="aligncenter" width="404" caption="vegetasi di atas Pos V"]
[/caption] Bang Anas dan Santy muncul setelah cukup lama mereka stuck di beberapa puluh meter di bawahku dan empat teman lainnya. Berkumpul bertujuh, Santy mencoba menyalakan kompor dan membuat minuman untuk sedikit menghangatkan badan. Air tak kunjung mendidih di suhu dingin dan di antara tiupan angin yang cukup kencang. Sudah lebih dari 3 jam sejak badai menggila dan tak ada tanda-tanda mereda. Sesekali pemandangan di bawah tersingkap, desa lereng tambora, teluk saleh, daratan sumbawa di seberang teluk bahkan selat alas dan sedikit bayangan pulau lombok, tetapi hanya beberapa detik sampai terenggut kembali oleh kabut. [caption id="attachment_218931" align="aligncenter" width="604" caption="dejavu view di atas plawangan sembalun rinjani"]
[/caption] [caption id="attachment_218932" align="aligncenter" width="423" caption="bivak, hijab kami untuk survive dari badai"]
[/caption] Bang Anas, Santy dan Adhi mulai mencari-cari tempat untuk membentangkan bivak. Kami bertujuh sudah di ambang batas kedinginan. Aku membantu memasang satu pasak meski tangan sudah terasa beku. Dua buah ponco siap ditempati untuk berlindung dari angin. Dan lima jam penantian terhadap badai harus berakhir di bivak ini tanpa meraih puncak atau pun sekedar view Kaldera Tambora yang menyimpan sejarah letusan dasyat dua abad silam. Semoga akan ada kesempatan lain untuk kembali, sekedar mengagumi keindahan dan keagungan nama besar kaldera Tambora.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya