Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bidadari-Bidadari Surga, Sebuah Review

7 Desember 2012   05:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:04 3643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah (Mamak, Bidadari-bidadari Surga)

Episode nonton bareng Premiere Bidadari-bidadari Surga was done! Dan yang paling membuat saya desperado adalah harus berjalan melintas mall dari studio 21 dengan mata bengkak, wajah memerah, dan masih bersisa efek nyedot ingus. Haduuuhh..! Baik versi movie atau pun novel telah sukses membuat saya tersedu nangis bandar. Mau dibilang intensitas mata merah berbanding lurus dengan tingkat kecemenan juga ga papa deh. Yang jelas, pesan moral yang ingin disampaikan oleh film sukses membuat saya tersentuh sepanjang durasi. Bidadari-Bidadari Surga menceritakan tentang lima bersaudara yang luar biasa; Laisa, Dalimunthe, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Kak Lai, atau Kak Laisa, sulung yang dengan keterbatasan fisiknya, dianggap buruk rupa, tampak berbeda dari empat saudaranya yang lain. Namun, ketulusan hatinya, kegigihannya, pengorbanan dan perjuangannya yang luar biasa mampu membawa kehidupan keluarga dari kekurangan menjadi jauh lebih baik dan berkecukupan. Kak Lai yang menanamkan kedisiplinan dalam mendidik adik-adiknya, selalu tegar, rela mengesampingkan rasa takutnya sendiri dalam sebuah adegan ketika menghadapi harimau penguasa hutan yang sempat mengancam nyawa Ikanuri-Wibisana. Bagaimana kecamuk perasaan sakit hati Kak Lai setelah kata-kata Ikanuri yang menyakitkan, dan di antara himpit trauma sekelebat bayangan kesedihan masa lalu tentang ayah mereka yang wafat karena terkaman harimau. Sayangnya adegan hadap-hadapan antara macan dan Kak Laisa sepaket adik-adiknya tidak dibuat dalam satu frame. Ini bukan Hollywood, Endah! #self_toyor. Oke Fine! Akhirnya pemahaman saya pun penuh dengan pemakluman, dan cukup menaruh worship ketika bayangan Laisa yang diperankan apik oleh Nirina Zubir terbias di mata harimau mewakili adegan berhadapan ini. Dalimunthe yang smart (dan hensem bikin saya sukses ngefans, menggugling si mas berbau ras aria Nino Fernandez) diceritakan sebagai seorang profesor muda. Sangat menghormati Laisa sebagai kakaknya dan penuh rasa berat ketika harus melangkahi Laisa untuk menikahi gadis pilihannya. Adegan kakak adik yang menyentuh ketika Dali memeluk Laisa berlatar perkebunan strawberry. Sayangnya, ketika Dalimunthe presentasi tidak menampilkan topik tentang fakta bulan pernah terbelah kaitannya dengan mukjizat Nabi Muhammad dan teori tentang badai elektromagnetik antar galaksi di hari kiamat kelak. Padahal satu scene ini sangat melekat di benak saya ketika membaca versi novelnya. Yashinta kecil diperankan begitu manis oleh Chantiq Schargerl (lidah saya keriting melafalkan nama ini). Episode masa kecil Yashinta bersama Kak Lai yang terkenang adalah sesi melihat berang-berang. “Kakak cantik kalau senyum, sayangnya Kak Lai jarang senyum.” Percakapan satu arah oleh Yash yang dibalas Laisa dengan perubahan ekspresi wajah. Nadine Chandrawinata menggantikan Chantiq dalam peran Yashinta versi dewasa. Cukup natural. Karakter Yashinta yang tomboy dan suka berpetualang, mampu diperankan Nadine dengan baik. Adegan burung elang bondol yang bertengger di tangan Yashinta cukup mewakili sebuah scene penelitian di alam liar, meskipun (mungkin) harus ditemani pawang elangnya, yang jongkok membelakangi kamera sebagai cameo. Meskipun kedekatan antara Goughsky (diperankan oleh Mike Lewis) dan Yashinta cukup mewakili, namun sebagai penonton, saya kurang dapet feel antara Nadine dan Mike Lewis, seperti sekedar sambil lalu untuk memenuhi kebutuhan alur cerita saja. Apalagi sesi romantis-romantisan antara Yashinta dan Goughsky yang berkebangsaan Uzbekistan justru kurang dapat dicerna penonton karena detail pengambilan gambar yang saya rasa cukup mengganggu, itu cup bra-nya Mbak Nadine kenapa bisa kelewat sama editor sampai ngecap nggak santai gitu di baju kausnya sih? haduh! Satu lagi yang disayangkan, Yashinta dalam setting novel penelitiannya berada di Semeru, dalam versi filmnya hanya digambarkan dengan tebing-tebing cadas yang sangat jauh dari karakteristik Semeru. Baiklah, mungkin supaya penonton nggak tertukar dengan film 5 cm yang sebentar lagi akan naik tayang yak? Tahun demi tahun berlalu, usia Kak Lai semakin tidak muda, namun tak jua bertemu jodohnya. Sangat terasa MJJ (mak jleb jleb, kulakan vocab dari teman saya bernama Acol) ketika tetangga mencoba membicarakannya. “Kasihan adik-adikmu, Lais, pasti tidak tega untuk melangkahi...” Tiba-tiba saya pengen nunduk, ambil cermin terus keinget dua orang adik-adik saya. Baik Dalimunthe, Ikanuri-Wibisana, maupun Yashinta, merasa prihatin dan tetap mengusahakan jodoh untuk kakaknya. Ketika Laisa bertemu seorang bernama Dharma yang mampu melambungkan hatinya, namun harus terbentur pada keadaan penerimaan sebagai istri kedua. “Buah Strawberry ini manis, semanis kamu Laisa..” eaaaa!!! gombalan romantis Bang Dharma yang mampu menuai uhuk seantero biskop raya. Penderitaan Laisa seolah tidak hanya berhenti pada urusan jodoh. Kangker paru-paru menggerogoti tubuhnya, tetapi Laisa tetap bersikap ikhlas, semangat menebar kebaikan, membuat orang-orang semakin takzim terhadapnya. Sangat disayangkan ketika ending film justru menampilkan dadah unyiuw empat bersodara Dali-Ikanuri-Wibisana-Yashinta yang melepas kepergian Kak Laisa-nya. Apalagi ditambah animasi lebai bunga dan kupu-kupu terbang khas sinetron. Pas udah sesenggukan parah ternyata harus terbentur rasa tanggung karena berasa cengo tiba-tiba, yah meskipun yang dimaksud film adalah mengantar 'kepergian' Laisa yang terasa penuh kemuliaan. Pesan moral yang ingin disampaikan adalah Laisa, seorang tokoh fiktif, namun dapat dijadikan panutan, contoh teladan yang telah purna tugasnya di dunia, menunaikan manfaatnya untuk orang-orang di sekelilingnya. Penuh ikhlas, tanpa harapan mendapat imbalan duniawi, hanya mengharap ridhoNya, dan Allah menjanjikan surga bagi orang-orang berhati mulia seperti Laisa. Kak Laisa juga mengajarkan kerja keras, keprihatinan, perjuangan untuk jaminan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli (Al Waqiah : 22). Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik lagi cantik-cantik (Ar Rahman : 70). Bidadari-bidadari yang tidak liar pandangan dan jelita matanya, seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik (Ash Shaffaat :48-49) foto diambil semena-mena dari : http://www.google.co.id/imgres?q=bidadari+bidadari+surga&hl=id&sa=X&tbo=d&biw=1360&bih=705&tbm=isch&tbnid=M9LzyEIAWW3adM:&imgrefurl=http://adrianto-forit.blogspot.com/2012/11/bidadari-bidadari-surga-sinopsis-dan.html&docid=WqAhkhE2eU8SSM&imgurl=http://3.bp.blogspot.com/-0wuaI5LUTQo/UKX_93oe0oI/AAAAAAAAEBU/3lFWVB-r9q4/s1600/BIDADARI%252BBIDADARI%252BSURGA.jpg&w=449&h=640&ei=-oLBUMhFiqusB_aagSA&zoom=1&iact=hc&vpx=440&vpy=96&dur=62&hovh=268&hovw=188&tx=80&ty=129&sig=112851443161480784631&page=1&tbnh=152&tbnw=109&start=0&ndsp=30&ved=1t:429,r:3,s:0,i:91

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun