Mohon tunggu...
ENDAH PATMAWATI
ENDAH PATMAWATI Mohon Tunggu... -

Endah Patmawati I Mahasiswi IAIN Surakarta I \r\ntwitter:@endah_patma\r\nMOTTO: SEBAIK-BAIK MANUSIAN ADALAH YANG BERMANFAAT BAGI MANUSIA YANG LAIN.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengkompetisikan Anak, Patutkah???

23 September 2014   06:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Taukah anda,???


Bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda di masing-masing diri mereka. Tapi terkadang orang tua mengarahkan anak- anak mereka pada apa yang mereka inginkan. Sebuah kompetisi sering mereka pilih untuk mengenalkan pada orang lain bahwa anak-anak mereka adalah anak-anak jenius. Mereka melakukan itu untuk menunjukkan bahwa para orang tua mampu membentuk anak- anak mereka menjadi anak yang jenius tanpa mempertimbangkan efek tindakan mereka dimasa yang akan datang pada anak- anak mereka.


oke, diskusi yuk ??


Disini ada dua pengertian kompetensi.  Ada kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar diri anak (eksternal, melalui rekayasa orang dewasa yang sering diistilahkan sebagai 'nurture' sementara kompetensi lainnya datang dari dalam diri anak itu sendiri (internal), diistilahkan sebagai 'nature'.


nah dlm istilah nurture inilah para orang dewasa atau orang tua itu berdominan dalam membentuk anak-anak  mereka. SO, bagaimana menurut kalian ?


Sebagai contoh adalah kompetensi nurture yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada tahun 1920. Ia mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita sebagai komponen sentral dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka mestinya mereka juga mampu dibentuk melalui pembelajaran sejak dini. Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sbb:


''Give me a dozen healty infants, well formed and my own special world to bring them up in, and i'll guarantee you to take any one at random and train him to become any type of specialist i might select--doctor, lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race of hi ancestors".


Pemikiran  Watson membuat banyak orang tua melakukan 'intervensi dini' stelah mereka melakukan serangkain tes intelegensi kepada anak- anak mereka. Ada sebuah kasus kontroversiyang terjad di institut New Jersey pada tahun 1976. Dimana para guru melakukan serangkain program tes untuk mengukur "Kecakapan dasar minimum" (Minimum basic skill) terhadap pelajaran membaca dan matematika.


bagaimana realita kondisi pembelajarn di sekitar qt??


lanjut lagi ya..


Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan fred Hechinger kepada New York Times sbb;


"The improvement in those areas were not the result of any magic program or any singular teaching strategy, they were... simple proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in new yersey".


Belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti Eleanor Rosevelt, Albert Einstain, dan Thomas Edison, yang diilustrasikan sebagai anak- anak bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas awal. Semestinya dapat mengubah arah pendidikan anak usia dini ke arah berkepatutan. sangat berbahya jika kepada mereka dibuatkan kompetensi-kompetensi perolehan pengetahuan  hanya secara kognitif semata. Oleh karena anak  masih dalam tahap tumbuh kembang di segala aspek.


(Sumber: Faizah DU.2009. Anak-Anak yang Digegas. Jakarta:Cindy Grafika)


Lah.. trus gmna tuh??


bisa liat kisah ketiga tokoh legendaris itu, dan kisah anak-anak karbitan, mkasudnya kisah anak-anak yang dbentuk oleh orang tuanya sesuai keinginan mereka tanpa pertimbangan efect dari tindakannya pada si anak. Seperti kisahnya Si Jenius William James Sidis dan Kisah si jenius sufiah Yusof. Dua orang ini tidak diragukan lagi kejeniusannya, tapikarna perlakuaan pendidikan orang tuanya, akhir kisah mereka sungguh memprihatinkan.


Tunggu dalam tulisan selanjutnya,...smoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun