Mohon tunggu...
Endah Susilawati
Endah Susilawati Mohon Tunggu... Guru - Tinggal di pelosok desa tetapi ingin tahu banyak hal

seorang pembelajar yang ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emak-Emak dan Film Tilik

22 Agustus 2020   15:25 Diperbarui: 22 Agustus 2020   15:46 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kontroversi dalam film pendek berjudul Tilik terus berlangsung sampai detik ini. Teman teman yang belum melihat silahkan melihat. Ketik saja kata "tilik". Saya yakin dalam waktu seper sekian detik apa yang teman-teman cari akan ketemu. Asal jaringan internetnya normal ya. Begitu klik, teman-teman akan diarahkan ke link Youtube untuk menikmati filmnya secara utuh. Lumayanlah untuk tontonan sambil menikmati minuman dan cemilan hangat.
Saya juga. Tanpa sengaja, bertemu dengan link film ini dan tiba-tiba ingin melihatnya. Saya nikmati film ini dari awal. Suara riuh perempuan-perempuan dalam bahasa jawa, sudah langsung membuat saya antusias. Saya jadi ingat jaman masih anak-anak. Saya sukan menonton drama atau sandiwara yang diproduksi TVRI stasiun Jogjakarta. Pemainnya keren-keren. Harapan saya film ini akan mengobati rasa kangen saya pada tontonan masa itu.

Judulnya singkat. Hanya satu kata dalam bahawa jawa, Tilik. Saya tahu artinya. Menjenguk atau berkunjung. Dari dialog para penumpang truk yang semuanya emak-emak itu, saya langsung bisa menebak bahwa judul film ini mengarah kepada mengunjungi atau menjenguk orang sakit. Begitulah, tradisi masyarakat kita. Rasa peduli akan ditunjukkan bila ada sesama yang mengalami musibah.  

Namanya film pendek. Saya sudah menduga bahwa alur cerita akan singkat menyesuaikan waktu tayangnya yang memang singkat juga 34 menit. Jadi, pesan utama dari film ini pasti akan segera disampaikan sejak awal. Itu yang saya pikirkan. Maka sayapun fokus pada dialog ibu-ibu di atas truk itu. Sambil menikmati akting para tokohnya, saya mulai "mengunyah" isi dialognya perlahan-lahan. Pembahasan tentang Dian terasa agak panjang dan berulang-ulang. Ini agak mengesankan kelambanan. Bahwa Dian diduga sebagai perempuan kurang baik, sudah dapat saya tangkap di awal pembicaraan tokoh bu Tejo dan Yu Sam dalam film itu. Dan seperti biasa, kalau melihat film, sayapun menebak-nebak ending ceritanya. Saya mempertanyakan siapa tokoh Dian ini? Apakah tokoh Dian ini sebagai tokoh positif atau tokoh negatif?

Hati kecil saya, kalau melihat film atau membaca cerita selalu ingin tokoh baik yang benar atau sebagai pemenang dalam suatu pertentangan. Dalam film ini saya berharap, tokoh Dian, yang dari awal sudah direndahkan, akan menjadi pemenang dan pertentangan yang digambarkan melalui perbedaan pendapat antara bu Tejo dan Mbak Tri. Tapi sayang, sampai akhir cerita saya tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan saya itu. Dialog singkat antara Dian dan seorang laki-laki tua di dalam mobil itu, menurut saya, masih membuat akhir cerita yang menggantung. Bisa jadi sutradara memang se gaja membuatnya begitu. Memaksa penonton menyelesaikannya sendiri.

Setiap orang boleh menilai apa saja yang ditontonnya. Ada yang menilai negatif film ini. Menguliti isi ceritanya. Mengatakan film ini tidak mendidik karena menyajikan gossip berkepanjangan, dari awal hingga akhir. Ada pula yang menilai film ini bagus karena menggambarkan kehidupan nyata masyarakat kita. Setiap orang memang memiliki persepsi yang berbeda. Semua itu dipengaruhi oleh latar belakang si pembuat statemen saja.

Yang jelas, pasti ada pesan moral yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Pesan moral itulah yang akan ditangkap oleh penikmatnya. Sekalipun begitu karena pesan itu tersirat, tidak gamblang, maka bisa jadi pesan yang diterima oleh penonton tidak sama dengan pesan moral yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Ya, tidak apa-apa juga sih. Tidak salah juga bagisi pembuat film dan bagi penontonnya.

Dalam waktu singkat film ini viral. Saat ini, saya lihat di Youtube sudah ditonton lebih dari 5 juta kali. Film ini dirilis pertamakali tahun 2018 (sumber: kompas.com). Mungkin karena mulai ditayangkan di media sosial belakangan ini, maka viralnyapun akhir-akhir ini. Viralnya film ini tidak terlepas dari kontennya yang mengusung kaum perempuan. Kaum emak, kata orang. Emak dengan segala daya pesonanya. Emak yang dibully karena tidak fokus. Emak yang dibully karena suka menggosip (padahal yang membully juga emak sang penggosip). Tetapi emak pula yang tak bisa digantikan posisinya.

Saya, yang juga emak, melihat film ini ya biasa saja. Bagi saya, film, novel atau sejenisnya adalah cara seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Bisa jadi mengkritik kondisi masyarakat. Maka sebagai bagian dari masyarakat, saya  legowo menerimanya. Bahwa perempuan adalah ahli menggibah, saya pun tidak memungkirinya. Kalau melakukannya sendiri, saya nyaman-nyaman saja. Tetapi ketika melihat di film ini saya memprotes. Ternyata aksi menggibah itu menjijikkan. Maka sayapun berpikir, jadi kalau saya menggibah itu ya seperti itu. Menjijikkan. Wah memalukan ternyata. Semoga ya Allah, kalau saya pas niat menggibah saya ingat film ini, ingat bu Tejo dan teman-temannya dan itu membuat saya bisa membungkan mulut sendiri. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun