Mohon tunggu...
Enda Fickriya
Enda Fickriya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkarakter, Maju dan Terbebas dari Korupsi

17 Mei 2017   13:12 Diperbarui: 12 Juli 2017   10:19 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekarang ini, bangsa kita yaitu bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada permasalahan yang kompleks. Indonesia harus bekerja ektra keras untuk bisa memusnahkan sekian banyaknya kasus korupsi yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Jumlah kasus korupsi di Indonesia terus meningkat. Kasus yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) dari 2014-2015 sebanyak 80 kasus. Jumlah ini meningkat jauh disbanding tahun sbelumnya. Hasil penelitian Laboratorium Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada, mengungkap 80 kasusu itu menjerat 967 terdakwa korupsi.

Sungguh memprihatinkan Karena banyaknya kasus korupsi yang kian mewabah disegala sendi lapisan masyarakat dan tingkatan lembaga pemerintahan sekalipun. Dan diperparah lagi, berdasarkan dari data lain menurut litbang Kompas 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR terseret kasus pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI, Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Dirjen Pajak, BI dan BKPM. Tentunya kejahatan korupsi yang merugikan Negara tersebut, anehnya dilakukan oleh “oknum” yang berpendidikan tinggi. Keadaan bangsa ini benar-benar diambang kehancuran apabila kasus korupsi tidak segara ditangani dengan segera.

Untuk memusnahkan bibit korupsi tentunya dimulai dari aspek yang paling mendasar yaitu lembaga pendidikan yang menjadi menfasilitasi dan melahirkan sosok generasi penerus bangsa. Namun, saat ini pemerintah cenderung lebih menekankan pendidikan dari aspek knowledge (kognitif). Aspek ini lebih banyak memberikan materi pengajaran tentang pengetahuan yang terus-menerus disuguhkan kepada peserta didik. Akibatnya, target yang ingin diraih dunia pendidikan pun menjadi dipersempit dan hanya terfokus kepada pencapaian ranah kognitifnya saja atau hanya mengandalkan pencapaian angka-angka statistik, seperti seberapa banyak jumlah lulusan dalam Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah.  Ini membuktikan bahwa, lembaga-lembaga sekolah lebih mengejar pada lulusan muridnya dengan capaian nilai yang tinggi dibanding lulusan yang memiliki karakter yang baik dan berkualitas.

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang bertujuan untuk membangun sebuah karakter seseorang untuk menjadi lebih baik dan pendidikan ini penting bagi setiap orang, yang di mana karakter tersebutlah yang menjadi identitas diri seseorang. Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk generasi muda menjadi pribadi cerdas dan baik, juga membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan hidupnya sendidri, yang pada gilirannya akan berperan sebagai penymbang perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, jujur, baik dan manusiawi.

Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan bangsa. Untuk memenuhi sumber daya tersebut, maka pendidikan memiliki peranan yang sangat penting. Maka dari itu, dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak dalam menfasilitasi perkembangan karakter. Pendidikan karakter sngatlah diperlukan dan ditanamkan sedini mungkin. Pendidikan karakter adalah jawaban mutlak untuk mencptakan kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat. Di dalam pendidikan karakter terddapat nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam sikap, perasaan, perktaan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, huum, tata karma, budaya dan adat istiadat.

Penekanan pendidikan hanya pada segi knowledge atau pencapaian pada ranah kognitifnya saja, justru hal itu menciptakan banyak perilaku yang kurang baik dan merusak tujuan pendidikan itu sendiri. Kecurangan dan contek massal yang dilakukan seakan-akan sudah mendarah daging dalam tradisi peserta didik pada setiap penyelenggaraan UN. Betapa memilukan kenyataan tersebut dan itu suatu gambaran betapa runyamnya pendidikan yang terlalu menghambakan pada kepentingan knowledge. Tradisi contek-mencontek itulah yang dianggap menjadi benih munculnya sikap korupsi. Tidak mengherankan jika kebiasaan mencontek menjadi cikal-bakal munculnya perbuatan untuk melakukan korupsi pada diri seseorang, karena kedua perbuatan buruk itu pada dasarnya tidak dilandasi oleh sikap jujur dan kurangnya pendidikan karakter yang diterima.

Padahal,  sudah tertuang di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional adalah beerkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, madiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Itu artinya, aspek yang harus dididik tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan atau kemampuan otak peserta didik saja. Namun, watak atau kepribadian peserta didik juga perlu mendapat porsi yang sama dalam hal pendidikan. Karena pada dasarnya, pendidikan karakter merupakan hal terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Dan perlu diketahui pula, bahwasanya dalam diri seorang anak, bukan hanya ranah kognitif yang perlu dikembangkan, tapi juga ranah afektif dan psikomotorik juga harus dikembangkan.

Dengan pendidikan karakter diharapkan bisa memberikan solusi atas segala problem bangsa ini. Sehingga akan terwujud bangsa yang besar yang memiliki karakter baik dan berkualitas. Sudah saatnya berbagi pihak terkait, yaitu pemerintah (otoritas pendidikan), sekolah orang tua hingga masyarakat harus bekerja sama untuk ikut serta mengembangkan pendidikan karakter demi kelangsungan masa depan bangsa ini. Pihak otoritas pendidikan harus bisa mengubah arah kebijakan dalam bidang pendidikan, yang tidak terus-menerus menekankan aspek kognitif tapi juga perlu menganggap penting dari aspek afektif. Kita yaqin, dengan semakin banyaknya generasi muda yang memiliki karakter baik dan berkualitas, maka akan terbentuk bangsa yang besar, berdaulat, berkarakter, maju dan terbebas dari korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun