Sebutan media dan jurnalis abal-abal hanyalah bentuk kamuflase yang sengaja dimunculkan oleh Dewan Pers demi mempertahankan kepentingan kelompok tertentu, terkait belanja iklan tersebut.
Perusahaan pers yang di luar konstituen Dewan Pers sengaja dicap abal-abal agar akses ekonominya terhambat masalah trust atau kepercayaan publik, baik pembaca maupun penyedia dan pengguna jasa periklanan.
Perusahaan pers itu hakekatnya menjual trust atau kepercayaan kepada publik melalui media yang didirikannya. Makanya label abal-abal itu terus dikumandangkan Dewan Pers agar media-media kecil itu sulit berkembang.
Lebih dahsyat lagi, hari ini beredar film pendek tentang media dan wartawan abal-abal yang diupload di chanel Youtube (https:youtu.be/dEwq3PEGefU). Propaganda negatif terus ditebar secara terang benderang bahwa praktek media abal-abal tujuannya adalah untuk memeras. Padahal Dewan Pers lupa bahwa media mainstream justeru lebih berpeluang melakukan praktek pemerasan karena daya jangkau dan kekuatan siaran medianya sangat kuat mempengaruhi opini publik.
Terlepas dari segala kontroversi itu, kita kembali pada pokok persoalan, ada hal yang jauh lebih penting lagi yang patut diperhatikan oleh insan pers tanah air, yakni potensi belanja iklan nasional tadi, karena berdampak sangat luas terhadap keberlangsungan pers Indonesia.
Berbicara potensi belanja iklan nasional tentunya tak terlepas dari ruang lingkup operasional perusahaan pers. Tak bisa dipungkiri bahwa ada 43 ribuan media yang dikalim Dewan Pers belum terverifikasi dan abal-abal. Sayangnya, puluhan ribu media massa tersebut di atas, tidak ikut menikmati belanja iklan nasional yang mencapai angka lebih dari 100 triliun rupiah per tahun.
Berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bahwa belanja iklan media di Indonesia  sepanjang tahun 2012  mencapai angka Rp 107 triliun. Dan pada Tahun 2013 menyentuh Rp147 triliun. Sedangkan tahun 2014 belanja iklan melonjak sampai Rp155 triliun. Kemudian menurun pada 2015 sebesar Rp118 triliun.
Sementara perusahaan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2016 mencatat belanja iklan di televisi dan media cetak mencapai Rp 134,8 triliun dan tahun 2017 mencapai Rp 145 triliun.
Dari total jumlah belanja iklan nasional  yang mencapai angka fantastis di atas Rp 100 triliun tersebut, sebagian besar dikuasai oleh media TV sekitar 80 persen dan sisanya dibagi-bagi oleh media cetak, radio, dan media online. Tahun 2018 lalu, belanja iklan TV menembus angka 110 triliun Rupiah.
Selama ini publik berhak bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Dewan Pers untuk menyelesaikan persoalan pers Indonesia, termasuk mengenai peluang pemerataan belanja iklan nasional tersebut bagi media lokal. Praktek yang dijalankan saat ini justeru Dewan Pers hanya sibuk menggelar diskusi dan menyebar propaganda tentang media dan wartawan abal-abal tanpa memberi solusi yang jelas.
Milyaran rupiah menguap dari anggaran Dewan Pers jalan-jalan ke seluruh daerah hanya untuk menyebarkan propaganda pers abal-abal.
Sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan kemerdekaan pers tentunya Dewan Pers wajib mengambil langkah nyata untuk menjalankan fungsi tersebut. Selama bertahun-tahun dengan anggaran mencapai triliunan rupiah melalui Kementrian Kominfo, Dewan Pers baru berhasil memverifikasi 2744 perusahaan pers dari sekitar 43.000 media.
Dewan Pers yang pengangkatannya disahkan oleh Presiden Republik Indonesia harus memahami bahwa secara hukum, setiap warga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2). Kemudian dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu, dalam Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.