Lanjutan dari : Mandulnya UU Perlindungan Anak no.23 tahun 2002
UU Perlindungan Anak: Benarkah Melindungi Anak?
Saya ingin kembali melihat bagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak no.23 tahun 2002 layaknya sekedar hiasan di atas kertas. Apa yang barusan saya katakan adalah berdasarkan apa yang saya sendiri alami ketika terjun di lapangan maupun ketika melihat rentetan kenyataan secara keseluruhan yang ada di Negeri kita ini.
Sempat ramai sebuah kasus di sebuah sekolah bertaraf internasional, berawal dari keberanian seorang ibu untuk melaporkan perkara, yang kemudian beranjak dan membongkar hal-hal memprihatinkan lain yang terjadi di sekolah tersebut. Namun muaranya sama, yaitu masalah kekerasan seksual.
Dari peristiwa tersebut kemudian datanglah gerakan penghujatan terhadap pelaku secara berbondong-bondong, meminta hukuman bagi pelaku yang seberat-beratnya. Namun tidak pernah ada kata sepakat terkait dengan institusi sekolah yang terlibat tersebut. Bahkan di antara sesama aktivis anak saja, bisa terjadi silang pendapat. Ada yang menyalahkan sekolah tersebut, dan ada pula yang membela sekolah tersebut.
Kejadian seperti ini sebenarnya banyak terjadi di sekolah-sekolah lain, terbukti belakangan mulai terungkap kasus terkait kekerasan seksual terhadap anak di sekolah. Di daerah tempat tinggal penulis sendiri juga pernah terjadi pencabulan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Guru tersebut memang langsung di tangkap polisi karena menghindari amuk dari para orangtua murid. Namun selanjutnya, beritanya pun tertutupi tanpa bisa diketahui.
Kekerasan seksual pada anak di sekolah ternyata bisa dilakukan oleh siapapun, mulai dari OB, guru, maupun pengelola sekolah. Hal inisangat mengerikan.Sehingga banyak para orangtua yang menjadi khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka. Mereka bertanya-tanya ‘Kemana lagi harus menitipkan anak untuk menuntut ilmu?’
UU Perlindungan Anak pasal 54 berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukanoleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Seharusnya setiap institusi sekolah beserta guru tahu dengan pasti akan kewajiban mereka ini, agar para orangtua muridyakin dengan keputusannya menitipkan anaknya di tempat yang tepat. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak. Jadi, sekolah harus menjadi tempat yang nyaman bagi anak dalam menuntut ilmu.
Untuk sanksi bagi pelakukekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekolah, terdapat dalam dalam bab XII tentang ketentuan pidana pasal 77-90. Semua pihak yang ada di sekolah memiliki tanggung jawab yang sama terhadap anak dan akan mendapat sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran terhadap anak, termasuk juga guru.
Hal ini seharusnya bisa diketahui oleh semua guru yang ada di Indonesia. Guru seharusnyatidak berperilaku seenaknya terhadap anak murid. Sehingga tidak akan terjadirelasi antara guru dan murid yang menakutkan. Guru yang bersikap otoriter cenderung memunculkan tindakan kekerasan. Hingga saat ini, saya masih sering mendengar keluhan para orang tua murid yang anaknya takut dengan guru mata pelajaran tertentu. Jika murid melakukan kesalahan maka akan keluarlah kata-kata kasar yang akan menjatuhkan harga diri mereka di depan teman-teman mereka. Atau ada juga guru yang dengan gampangnya menghukum murid jika murid melakukan sebuah kesalahan.
Kalau saja para guru tadi menyadari bahwa cara mengajar mereka tidak memenuhi aspek mendidik yang tepat, mereka pasti akan merasa dibayang-bayangi dengan sanksi pidana yang siap menjerat mereka.
Pada poin ini memang banyak guru yang merasa ketakutan untuk dikriminalisasi oleh para murid-muridnya. Padahal, jika mereka paham dunia pendidikan, rasa-rasanya tidak ada hal yang harus mereka takutkan. Jika mereka mendidik dengan tepat,tidak akan ada yang menggiring mereka ke muka hakim.
Undang-Undang Perlindungan Anak sudahberumur 12 tahun. Namun semakin ke sini realisasi dari perlindungan anak di sekolah justru semakin mengkhawatirkan. Semakin banyak terungkap tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah. Seringkali pelakunya adalah para guru yang seharusnya menjadi pendidik yang diteladani oleh murid.
Hingga saat ini, banyak para guru yang tidak mengetahui Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi.... bagaimana anak-anakbisa terlindungi hak-haknya dari tindak kekerasan yang terjadi di sekolah? Kalau ternyata, masih saja terdapat sekolah dan pihak-pihak yang berada di dalam sekolah (termasuk para guru) belum tahu sekaligus belum merealisasikan Undang-undang ini
Sanksi Pidana
Ada hal yang menarik yang saat ini sedang ramai diperbincangkan, yaitu mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Saat ini mulai gencar diperbincangkan oleh berbagai pihak mengenai hukuman yang harus diperberat. Ada yang meminta agar pelaku di kebiri, diberikan hukuman seumur hidup, ada juga yang menyatakan agar pelaku diberikan hukuman berupa sanksi sosial dengan diumumkan ke publik, dicirikan pada bagian tubuh yang mudah terlihat setiap orang, hingga hukuman mati.
Memang sangat miris kalau melihat praktek penerapan sanksi ini. Hampir tidak pernah betul-betul diterapkannya pemberiansanksi terberat (15 tahun). Paling sering malah si pelaku diberikan sanksi yang paling ringan , yaitu selama 3 tahun.
Pengalaman dalam Kasus
Yang paling menyedihkan adalah ketika saya sendiri yang mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Si pelaku tidak dikenai UU Perlindungan Anak, tetapi malah menggunakan Kitab Undang-Undang yang lain. Sehingga akhirnya si pelaku hanya menjalani masa tahanan kurang dari 1 tahun. Sungguh sangat keterlaluan, di mana rasa keadilan yang dimiliki para aparat penegak hukum?
Sebenarnya masih banyak lagi uneg-uneg saya sebagai relawan dan pendamping anak.. Bahwa betapa mandulnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini.
Kalau teman-teman para aktivis anak atau siapapun yang peduli terhadap anak menginginkan adanya revisi terhadap sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual, saya berharap jangan hanya satu hal itu saja. Sebaiknyakita semua mau menyimak keseluruhan isi dari Undang-Undang Perlindungan Anak ini dan temukan banyak sekali kekurangan yang ditemui dari Undang-Undang ini. Terlebih lagi hingga saat ini tidak ada turunan dari Undang-Undang tersebut berupa peraturan presiden yang membuat Undang-Undang ini bisa lebih adaptif terhadap berbagai persoalan di lapangan.
Bisa kita lihat, sering sekalidalam Undang Undang tersebut disebutkan mengenai tanggungjawab dari pemerintah. Namun tidak pernah disebut secara definit, ‘pemerintah’ yang dimaksud itu siapa? Sehingga wajar saja jika saat ini banyak kasus yang terjadi, namun tidak ada satupun pihak ‘pemerintah’ yang menyatakan diri bertanggung jawab terhadap persoalan ini.
Padahal kalau kita lihat di negara maju, para pejabat hingga setingkat perdana menteri akan berani mengatakan “saya bertanggung jawab terhadap terjadinya kasus ini, dan siap pula untuk mempertangggung jawabkannya sekalipun harus megundurkan diri.”
Di negara kita, rasa-rasanya belum pernah saya mendengar hal ini sekalipun. Jika anak-anak Indonesia mengalami begitu banyak kekerasan, belum pernah saya dengar ada pihak pemerintah yang merasa bertanggung jawab dan siap mundur jika semua itu karena kelalaian mereka sebagai pejabat yang telah diberi amanah terhadap penyelenggaraan perlindungan bagi anak-anak Indonesia.
Tulisan ini di ambil dari blog saya : ena-nurjanah.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H