"Saudara-seadara, kami akan melaporkan langsung siaran pandangan mata di lapangan hijau. Nampak Robby Darwis sekarang sedang menguasai bola, berikan saja kepada Yudi Guntara, Yudi Guntara lagi sodorkan pada Robby Darwis, Robby Darwis sodorkan lagi pada Yudi Guntara, sudah memasuki jantung pertahanan!! Ahhaaay, Apa yang terjadi saudara-saudaraa???.. Nampak Robby Darwis dan Yudi Guntara hanya berdua di lapangan, ternyata mereka hanya berlatih sepakbola saudara-saudara".
Kalimat tersebut diatas adalah kalimat khas seorang komentator sepakbola, lebih tepatnya lagi komentator sepakbola pada siaran pandangan mata Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung ketika meliput Tim Maung Bandung berlaga. Namun lebih tepatnya lagi kalimat tersebut diambil dari sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Grup Musik asal Bandung, Padhyangan Project bertajuk "Kop dan Headen".
Lagu tersebut dirilis pada tahun 1994 oleh Padhyangan Project dalam menyambut gegap gempita perhelatan sepakbola paling akbar sejagat, Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Pada masa itu radio masih menjadi media komunikasi populer dan paling merakyat yang selalu mendampingi seluruh masyarakat Indonesia, baik di perdesaan maupun di perkotaan.
Ketika stasiun televisi masih terbatas dan belum banyak masyarakat yang memilikinya, radio adalah teman paling setia. Lumrah kita temukan radio pada petani di lumbungnya, tukang pangkas rambut di kiosnya, pedagang warung kopi di gerobak sederhananya, di sudut pangkalan ojeg, ditengah warung Indomie telor, termasuk bagi para penggemar sepakbola khususnya bobotoh Persib Bandung.
Salah satu yang ditunggu-tunggu adalah siaran pandangan mata RRI Bandung yang biasanya dipandu Bung Didi Mainaki atau Bung Pujo Hastowo, sang reporter yang selalu setia mengumandangkan pertandingan Persib melalui siaran radio dengan suara khas dan intonasinya yang lugas, serta tentu saja dengan frase-frase yang mengundang fantasi pendengar.
Sebagai contoh pada kalimat "sudah memasuki jantung pertahanan!!" dan "Ahaay, apa yang terjadi saudara-saudara???" adalah dua frase yang membuat pendengar membayangkan betapa ujung tombak Persib Bandung telah berada pada kotak penalti dan semakin penasaran dengan yang terjadi selanjutnya. Apakah sang striker dilanggar di kotak penalti ? Apakah bola terkena tangan bek lawan di kotak penalti? Apakah tendangan striker melambung jauh? Atau sederet imajinasi lain dapat berkeliaran diseputar kepala.
Radio memang selalu menawarkan daya magisnya, dan seorang reporter selalu dituntut untuk mengeluarkan ide dan kreativitasnya. Radio menyajikan theatre of dream atau bioskop dalam benak imajinasi kita. Cerita dan drama yang tersaji pada alam pikiran kita seakan-akan lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan yang terjadi di lapangan hijau.
Tidak ada tuntutan untuk memfokuskan pikiran dan memusatkan konsentrasi dalam mendengar radio. Segalanya dapat dilakukan sambil melakukan ragam aktivitas kita. Petani sambil membajak sawahnya, penjual nasi goreng sambil fokus melayani pembeli, tukang cukur sambil merapikan rambut pelanggan, sopir bis sambil fokus mengendarai bis-nya. Inilah uniknya radio, teman setia dalam ragam aktivitas.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta dinamika pesatnya kemajuan platform digital, pendengar radio sepertinya sudah tidak sebanyak dahulu lagi, setidaknya menurut hasil survei indikator sosial budaya Badan Pusat Statistik Tahun 2018 yang merilis bahwa masyarakat yang mendengarkan radio dalam setahun terakhir hanya 13,31%. Angka ini turun drastis dibanding lima tahun lalu (2013) dengan jumlah pendengar 50,29%.
Pemirsa pendengar siaran sepakbola melalui radio pun mulai langka ditemukan. Termasuk pendengar biasa yang menikmati acara demi acara melalui radio. Padahal sepanjang sejarahnya radio telah melahirkan talenta-talenta hebat. Tidak sedikit selebriti tanah air yang memulai karirnya justru sebagai penyiar radio. Farhan, Indy Barends, Sarah Sechan, Ringgo Agus Rahman, Desta, Choky Sihotang, Asri Welas, Danang dan Darto adalah sedikit contohnya.
Apakah kemuncukan televisi, TV kabel, internet, layanan media streaming ikut berpengaruh pada merosotnya pendengar radio dan secara lebih jauh "membunuh" bintang-bintang nya? Entahlah, namun grup musik The Buggles sejak empat dekade yang lalu menjawab pertanyaan ini dengan lagunya "Video Killed The Radio Star". Barangkali dahulu sejak lagu ini dipopulerkan, orang tidak pernah mengira bahwa kemunculan perangkat-perangkat digital secara pelan tapi pasti akan menggantikan peran stasiun radio.