Mohon tunggu...
Nurul Hikmah
Nurul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Islam Negri Walisongo Semarang

What ever u are, be a good one. Semoga kita bisa lebih jujur terhadap diri sendiri, semoga kita bisa lebih berani. My pen my fire, my mind my fire.

Selanjutnya

Tutup

Money

Minyak Goreng dan Kebijakan Labil

17 Maret 2022   21:37 Diperbarui: 17 Maret 2022   22:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi, lagi, dan terjadi lagi, Bukan kisah baru mungkin hal ini terjadi di Indonesia. Pasalnya dari akhir Desember 2021 hingga saat ini inflasi Indonesia yang di gadang gadang sedang naik dimata dunia malah bertolak belakang dengan kenyataan. Dari harga cabai yang melejit disusul kelangkaan minyak goreng membuat gembor sana sini hingga menancapkan stigma negatif bahwa "lebih baik harga minyak mahal daripada harus langka".

Padahal sejatinya menurut gue HET (Harga Eceran Tertinggi) yang udah ada harusnya bukan alasan buat kelangkaan minyak itu sendiri, nah setelah si HET minyak goreng ini berkibar secara kebetulan minyak yang biasanya ada dimana mana jadi langka, mungkin sebelum nya emang udah agak sedikit  minim dan setelah nya si minim ini jadi tambah minim.

Belum lama ini HET yang udah jadi patokan masyarakat tentang nilai mahal murah jadi punya asumsi jelek "lebih baik harga minyak mahal daripada langka" Berakhir dengan dicabutnya HET dan semakin melejitlah harga minyak goreng ini, opini dan stigma negatif yang sebelumnya hanya bayangan menjadi kenyataan.

Setelah HET dicabut dari rata rata harga minyak goreng 14,000 perliter, 2 liter per 28,000 menjadi 47,000 per 2 liter, bahkan ada yang menjual lebih mahal. Harga yang fantastis untuk sebuah perubahan mendadak. Sebetulnya gue sebagai masyarakat menengah kebawah engga baik-baik aja dengan kebijakan yang sekonyong-konyong mencabut aturan HET yang udah diatur Permendag sebelumnya.

Gue agak bingung buat ngejelasin bahwa yang gue liat langsung di realita nya sama sekali gak sinkron sama gembar-gembor petinggi petinggi negara. Katanya minyak goreng udah dibagi merata di seluruh Indonesia tapi di daerah perkampungan malah terlalu mencekik buat diceritain bagaimana capeknya ber jam-jam ngantri minyak yang harganya kadang sesuai logika kadang di luar logika.

Sebenernya gue gak mau duga macem-macem tentang pemerintah dan staf jajarannya, tapi apa boleh buat sedikit banyaknya gue sebagai masyarakat yang aware terhadap isue kekinian haruskah berspekulasi bahwa di otak mereka mungkin ada banner besar isinya "Memang paling enak berbisnis dengan rakyat".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun