[caption id="attachment_164022" align="aligncenter" width="300" caption="(www.gettyimages.com)"] [/caption] Selepas Magrib tadi, saya ke Pondok (pertokoan dekat rumah). Rencana awal ingin ke ATM, bayar tagihan ponsel saya dan si Papa. Tapi tiba-tiba kepingin makan sesuatu yang segar. Pilihan saya tadi, Bakso Atom. Masuklah saya ke pertokoan. Saya iseng ke departement store yang ada di lantai atas dulu, meskipun kedai bakso di lantai dasar. Cuci mata dan sekaligus ngadem. Di depan pintu masuk departement store, ada sales perempuan membagikan tester parfum. Tumben-tumbenan saya "dilirik". Mungkin karena sore ini pakaian saya agak rapi. Saya ambil tester parfum itu, lalu mengucapkan "Terima kasih, ya" sambil memberikan senyuman manis saya (mesem-mesem mode: on, pasrah ditimpuk massa). Baru dua langkah berjalan, saya mendengar percakapan sales itu dengan rekan kerjanya. "Senangnya ada yang bilang terima kasih. Jarang-jarang yang begitu. Rasanya capek gue hilang." Bibir dan hati saya ikutan senyum. Saya paham betul apa yang dia rasakan. Saya bukan malaikat yang selalu baik hati. Saya bersikap begitu karena alasan sederhana. Karena saya sudah pernah berada di posisi sales itu. Dulu, waktu kuliah, saya aktif di organisasi kemahasiswaan. Nah, setiap kegiatan, kami selalu membuat leaflet dan menyebarkannya sendiri. Pengalaman pertama saya? Sungguh melelahkan fisik dan hati! Pertama, tidak semua orang mau menerima leaflet yang saya bagikan. Malahan, tak jarang ada yang ketakutan. Mungkin saya dikira minta sumbangan? Ada juga yang ambil, tapiiii tanpa dibaca dulu dia langsung meremas leaflet itu dan  membuangnya di depan mata saya! Huwaaaaaaa, tak tahukah dia bagaimana rasanya tidak tidur semalaman karena mendesain materi leaflet itu? Untunglah, masih ada beberapa orang baik, yang setidaknya mau melirik sedikit isi leaflet dan memasukkannya ke tas mereka. Ucapan terima kasih dan senyuman dari mereka adalah bonus yang tak ternilai buat saya yang sudah capek seharian berdiri di depan Stasiun UI. "Semoga Allah membalas kebaikan mereka," doa yang tanpa sadar otomatis keluar dari mulut saya waktu itu. Pengalaman hampir serupa terjadi saat saya terlibat dalam riset kepuasan komunikasi salah satu bank milik pemerintah. Waktu itu saya bertugas menyebarkan kuisioner kepada beberapa nasabah di beberapa cabang. Awalnya saya mengira akan mudah. Kenyataannya? Duh pengin nangis rasanya. Padahal kuisioner itu resmi bekerja sama dengan bank. Harusnya sih, sebagai nasabah, mereka mau membantu menyisihkan waktunya sedikit demi peningkatan kualitas bank tersebut. Jika pelayanannya semakin meningkat, mereka juga kan yang senang? Boro-boro mau menjawab. Kebanyakan mereka bersikap (sok) sibuk. Ada yang bilang mau buru-buru pergi,  padahal saat saya hampiri dia masih di antrean belakang. Kuisioner itu hanya "menyita" 5 menit saja kok. Pertanyaannya juga mudah, tentang pelayanan bank. Responden hanya tinggal mencontreng salah satu jawaban. Ya, empati baru tumbuh saat kamu benar-benar berada di posisi itu. Saya mengaku, dulu juga bersikap tidak acuh pada sales yang memberikan brosur. Dan paling malas kalau disuruh mengisi kuisioner. Kalaupun terpaksa, saya mengisi asal-asalan. Yang penting selesai. Tapiii, semenjak merasakan sendiri, saya bertekad dalam hati sendiri untuk lebih menghargai mereka. Saya berhasil mengubah kebiasaan buruk sebelumnya. Sekarang, setiap ada yang menawarkan barang tester atau brosur, pasti saya ambil, baca, dan simpan baik-baik. Jika ada yang meminta saya mengisi survei atau kuisioner, pasti saya isi dengan sungguh-sungguh. Kenapa tak boleh asal-asalan? Karena hasil kuisioner itu nantinya akan diolah. Jawab responden yang ngaco akan menyebabkan data menjadi tidak valid atau tidak reliable. Begitu... Yuk, sisihkan sedikit waktu untuk mengisi kuisoner dan bersikap sedikit manis pada penyebar brosur! Tak sulit, kok :) *diedit dari blog pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H