Mohon tunggu...
Nandar Cakradiwirya Ibrahim
Nandar Cakradiwirya Ibrahim Mohon Tunggu... -

manusia yang ingin selalu bermanfaat... :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

"2009: Nelayan Kita yang Malang, 2013: Baru Tegas?"

21 November 2013   11:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:52 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senin (30/03/09), di GRAHA IKAMI SUL-SEL, ketika berjalan menuju pintu masuk, saya didatangi oleh dua orang yang tidak saya kenal, seorang pemuda dan lelaki berumur sekitar 40-50 tahun datang dengan tampang lusuh dengan muka yang berkucuran keringat karena sengatan matahari di siang hari itu. Saya menyambutnya kemudian mempersilahkan masuk ke ruang tamu, pemuda itu memperkenalkan diri dengan inisial AC bahwa dia dari LSM yang berasal dari SUL-SEL, sedang mendampingi lelaki paruh abad, bernama HAIRUDDIN yang ternyata seorang nelayan asal Sulsel, mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka bahwa ingin meminta pertolongan dalam pengadvokasian kasus yang mereka alami, di awali menceritakan kronologis kasus mereka,yang kurang lebih seperti ini :

HAIRUDDIN berkata : “(30/08/08), kapal nelayan kami mencari ikan di perbatasan Perairan wilayah selatan Nusa Tenggara Timur, tiba–tiba kami di datangi oleh Kapal Kepolisian Laut Australia, mereka menyerukan untuk menurunkan jangkar, kami seluruh awak kapal serentak kaget dengan seruan itu “apa yang salah dengan kami?”,dalam hati saya, akhirnya kami menurunkan jangkar, tidak berapa lama kemudian 10 orang dari Kapal Kepolisian Laut Australia dengan menggunakan sekoci mendatangi kapal kami, mereka memeriksa semua barang-barang yang ada di kapal dan memperlihatkan suatu buku yang bertuliskan : “ anda akan di bawah ke suatu tempat dan saat itu pula anda akan di periksa”, mereka langsung mengambil semua peralatan di dalam kapal termasuk peta , SKK (Surat Kecakapan mengemudi Kapal), GPS (alat pendeteksi keberadaan /alat penunjuk wilayah RI), dan kompas pun diambil secara paksa . Spontan kami langsung memberontak , karena kami merasa benar bahwa masih dalam batas wilayah RI, belum melewati ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), tetapi kami tetap di perlakukan dengan semena-mena, digiring dengan kapal patroli milik polisi Australia masuk perairan Australia. Kami bertanya “kesalahan apa yang kami lakukan?”,mereka menjawab tetapi dengan bahasa inggris,dimana bahasa itu kami tidak mengerti,akhirnya kami hanya duduk terdiam dan bertanya-tanya sendiri kesalahan apa yang kami lakukan.

Keesokan harinya kami tiba di Australia, kami ditahan di kantor Keimigrasian Australia dan tidak lama kemudian kami mendengar Kabar buruk, kapal kami dihancurkan dan dibakar, setelah mendengar kabar itu kami betul-betul putus asa, kami langsung teringat bagaimana nasib keluarga kami, resah kepada istri dan anak-anak kami yang menunggu, sambil menunggu proses persidangan,di sana kami di interogasi : “Apakah anda sudah tahu kenapa di tangkap?” kata seorang petugas disana dan di terjemahkan oleh wanita berkebangsaan Indonesia yang berasal dari Bali, “jelas kami tidak melakukan kesalahan,terus kenapa kami di tangkap? kami tidak melewati perbatasan”, Petugas Australia menjawab ” bagian dasar laut di anggap sebagai bagian dari benua Australia sementara laut yang ada di atasnya milik Indonesia”, Hairuddin ” kami ingin tahu landasan apa yang mengatakan bagian dasar laut di perairan Laut timor Indonesia perbatasan wilayah selatan Nusa Tenggara Timur itu di anggap sebagai bagian dari benua Australia sementara laut yang ada di atasnya milik Indonesia ? apakah ada kesepakatan Indonesia dengan Australia tentang itu? Apakah di masukkan dalam Undang-undang? coba perlihatkan hasil kesepakatan itu? Yang jelas kami masih berada di perairan Indonesia dengan koordinat posisi kapal terakhir 11.14 Lintang selatan dan 21,26 Bujur Timur.Namun, petugas dari australia tersebut tidak bisa menjawab, hanya terdiam membisu.

Setelah kami diinterogasi, kami di bawah ke kamar tahanan, disana kami di tahan hampir tiga bulan sampai menunggu proses persidangan. Dalam persidangan kami (para nelayan Indonesia asal Sul-Sel) selalu didakwa oleh jaksa Australia telah memasuki wilayah kontinental Australia meski berada dalam laut Indonesia. Jadi, bagian dasar laut dianggap sebagai bagian dari benua Australia sementara laut yang ada di atasnya milik Indonesia. Dakwaan itu membuat kami bingung karena kami melakukan pencarian teripang masih dalam batas wilayah RI dan tidak melewati ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).Di sana kami keberatan dan melakukan perlawanan,namun apalah daya,kami hanya nelayan yang punya kapasitas yang kurang dalam berargumentasi, sedangkan jaksa pembela yang berasal dari India, sempat menjatuhkan kami dengan mengatakan “kalian hanya mempunyai kemungkinan untuk menang hanya 30 % , untuk kalah 70%, kalau kalian tidak mengaku bersalah, persidangan di tunda sampai sebulan dan akan selalu ditunda terus”.

Bahkan pihak konsulat Indonesia di Australia juga ikut menyalahkan kami, sedangkan sangat jelas kami sama sekali tidak bersalah. Kami sangat kecewa dengan pihak konsulat Indonesia yang ada di australia mereka tidak pernah berjuang secara maksimal untuk kemenangan nelayannya sendiri, karena kami menolak terus untuk menyatakan bersalah di persidangan akhirnya kami di kurung dengan waktu yang lama, tetapi akhirnya hal itu membuat kami berfikir juga terhadap nasib keluarga kami yang sedang menunggu, kekhawatiran mereka, nasib mereka di tangan kami, bahkan istri saya sedang sakit keras ketika peristiwa ini terjadi, hal ini lah yang membuat saya luluh untuk cepat ingin kembali ke kampung halaman. Kami menyerah!, kami semua mengaku bersalah di persidangan, karena himpitan waktu untuk kehidupan keluarga kami maka kami memutuskan hal itu, akhirnya kami di putuskan bersalah dan di pulangkan ke Indonesia.

Sebelum balik ke Indonesia saya di interogasi kembali untuk yang terakhir kali dengan pertanyaan yang lebih detail terhadap latar belakang pribadi saya, pertanyaannya langsung kembali di terjemahkan wanita yang berkebangsaan Indonesia yang berasal dari Bali tersebut, Petugas : “Anak anda berapa?, apakah anda punya rumah? , berapa lama anda membawa kapal?, Utang anda berapa?, Kemudian saya tertunduk dan menjawabnya sambil mengingat keluarga dan meneteskan air mata dan menjawab : Anak saya ada tiga orang, nama anak pertama saya adalah Risma, nama itu juga saya berikan kepada nama kapal saya yang di bakar, yang kedua Risna, dan yang ketiga Safar, saya tidak punya rumah , saya tinggal di bawah kolong rumah sepupu saya (Rumah Kayu khas Bugis Makassar,Rumah terletak di atas dan di sanggah dengan tiang-tiang di bawahnya), saya membawa kapal sejak tahun 2001, utang saya hampir 300 juta karena kapal saya di bakar saya tidak tahu mau membayarnya dengan apa lagi.saat itu juga saya melihat penerjemah wanita berkebangsaan Indonesia yang berasal dari Bali itu juga ikut menangis mendengar jawaban-jawaban saya.

Saat ini kami sudah setahun tidak punya kapal, kami sangat stress,kemana lagi kami mencari mata pencaharian untuk keluarga sedangkan hal itu adalah keahlian utama kami, utang bertumpuk sampai 300 juta karena kapal, bahan bakar, dan penambahan mesin pada kapal kami yang di bakar oleh pihak Australia itu kami ambil dari koperasi simpan pinjam. Karena itu saya datang kesini untuk minta tolong agar dapat di bantu dalam menyelasaikan masalah ini, sementara ini kami telah memperjuang kan hal ini ke pihak DPRD Sulsel, pemerintah daerah sulsel, Dirjen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Komnas HAM Pusat,dan KEDUBES AUSTRALIA namun semua gagal, kami telah kehabisan akal untuk masalah ini, kami beserta dua orang kawan saya bahkan rela untuk tidur di emperan mesjid Istiqlal demi menghadapi masalah ini di Jakarta.

Setelah panjang lebar saya mendengarkan penjelasan beliau, bapak HAIRUDDIN memberikan data-data yang valid berupa identitas nelayan, bukti-bukti mereka telah di tahan di Australia,dan lain lain. Saya coba untuk mencerna terlebih dahulu lebih dalam apakah permasalahan yang dikatakan bapak nelayan ini sebagai pribadi dan atas nama IKAMI SUL-SEL CABANG DKI JAKARTA harus membantunya? Tapi kami perlu waktu untuk itu, Disisi lain juga saya harus memberikan keputusan yang cepat, untuk itu kami (penguhuni GRAHA IKAMI SUL-SEL di jalan Talang no:39, JAKARTA PUSAT) saat ini memberikan pertolongan ala kadarnya dengan memberikan izin sementara untuk menginap sebagai tamu kehormatan di GRAHA IKAMI SUL-SEL ketimbang mereka tinggal di emperan mesjid Istiqlal, dimana sewaktu – waktu Pihak TRANTIB (pihak keamanan) dapat mengusir mereka, sembari mencari solusi yang tepat , saran, bantuan dukungan langsung ataupun tidak langsung, dukungan moral dan materil , atau apapun yang dapat menjadikan bahan pertimbangan untuk maju membantu mereka dalam masalah yang sangat kompleks ini, masalah yang menyangkut harkat diri kita yang terinjak-injak, harga diri sebagai orang SUL-SEL, harga diri sebagai bangsa Indonesia.

Cerita di atas adalah penggalan kisah lalu , tapi baru kemarin Bapak SBY tegas terhadap AUSTRALIA dalam kasus penyadapan, ada apa sebenarnya? kenapa baru sekarang ketegasannya keluar? dari mana aja kemarin ketika nelayan sengsara?

NANDAR CAKRADIWIRYA IBRAHIM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun