Mohon tunggu...
SURAT TERBUKA
SURAT TERBUKA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pingin Masuk Syurga Bi Ghoiri Hisab

Mencari Doa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Review Hari Guru, Swadaya sampai Langit Runtuh???

17 November 2015   00:38 Diperbarui: 26 November 2015   22:00 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="HLM Nursalim MKKS"][/caption]Cita-cita besar untuk pengabdian profesi yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa di Lombok Timur – NTB sudah dipondasikan melalui berbagai upaya peningkatan mutu tenaga pendidik (guru) diantaranya melalui wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG). Dua wadah ini, oleh Direktorat Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Depdiknas menyebutnya sebagai masalah yang mendesak dan harus direalisasikan.

Mewujudkannya, “anggaran bukan halangan” kata HLM. Nursalim, kepala seksi kurikulum dan kesiswaan Dikdas Dikpora Lombok Timur. Kata itu tentu menjadi symbol bahwa apa yang diupayakan melalui peran MGMP dan KKG sangatlah penting dan memang penting, walau ada juga para apator yang menganggapnya kurang penting, bahkan ada juga yang bersuara “lebih baik makan pisang goreng daripada agenda-agenda yang tidak penting itu,”

Ya! Inovator dan Apator selalu bertemu dimana-mana, namanya sama-sama bagus, tapi lebih besar dampak apator karena sungguh rugi Negara ini memberikannya gaji dan sangat sial generasi ini menyebutnya guru. Karena lagi, apator ini banyak omong dan tak peduli dengan apa yang menjadi kebutuhan hidup. Awas apator, sebentar lagi Anda akan kena dengan rintihan mereka yang teraniaya, dan juga karena engkau makan dari mulutmu yang b*s*k.

[caption caption="Forum MKKS SMP Lotim"]

[/caption]

Menyebut demikian bukan berarti mereka tidak ikhlas, bukan berarti mereka tidak sanggup dan merasa rendah berkegiatan kurang dukungan. Bukan juga mereka berkegiatan mengharapkan anggaran tapi mengingat apa yang menjadi tingkah apatis beberapa pihak yang merusak jiwa-jiwa mulia para guru yang tak pernah lelah ingin menjadi lebih baik, dalam konteks ini melalui pentingnya peran MGMP dan KKG.

Saya bukan guru, tapi saya melihat betapa berharganya perjuangan guru. Walau guru hari ini banyak gaji. Walau guru hari ini ada sertifikasi, tapi toh apa gunanya kalau semua itu diterima dan keluar lagi dengan banyaknya aturan yang menjerat. Aturan yang tidak sesuai dengan perjuangan mereka. Aturan yang jauh dari peduli betapa besar cita-cita mereka untuk bisa berkembang.

Anda bisa menilai, mana guru yang siap menjadi guru dan mana guru yang berhasil menggunakan gaji sertifikasinya sebagai modal bisnis dan melupakan tugas aslinya. Bukan hanya melupakan tapi juga merusak jiwa-jiwa guru yang benar-benar menjadi guru. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan oleh negeri, agar kesenjangan tidak terjadi di depan public termasuk didepan para siswa asbab mereka bergaji.

Maksud celotehan ini adalah?

Kita semua adalah mantan siswa tapi kita tidak ingin memiliki mantan guru. Sampai kita menjadi orang, karena jasa guru - kita menjadi orang, namun banyak juga karena?, tak sedikit yang menjadi orangutan?. Orang dan orangutan sama-sama pelaku sejarah. Penulis buktinya, kawan saya buktinya. Mungkin pembaca juga. Tapi saya yakin semua pembaca bukan orangutan, bukan pula?

[caption caption="Peserta OC MGMP"]

[/caption]

Maksud celotehan ini adalah ingin mengajak diri dan semua yang mau peduli untuk sama-sama peduli menghapus jiwa-jiwa apatis terkait ujung tombak paling pasti dalam keberlangsungan dan kesuksesan hidup-tujuan hidup. Terutama terkait profesi guru dan apapun namanya yang menaungi guru. Polisi adalah hasil didikan guru. Pemegang kebijakan juga hasil didikan guru, bahkan pernah menjadi guru. Terserah bagaimana orangnya yang jelas kita semua pernah sekolah dan sampai saat ini punya guru.

MGMP dan KKG, swadaya sampai langit runtuh???

Inti dari celotehan ini sesungguhnya pada persoalan MGMP dan KKG. Tapi saya sengaja tidak menulisnya sebagai judul utama, agar ada renungan terkait apa yang ingin direnungkan. Selama ini saya melihat, MGMP dan KKG masih dipandang sebelah mata, tak mau tau apa sebabnya?. Cuek dan apatis dengan semangat Guru di Kecamatan Sikur, Semangat Guru di Sakra Timur, Keruak, Jerowaru, Sembalun, Sambelia, Suralaga, dan kalau yang dekat-dekat dari kantor dinas, malas (di tulis).

Kembali kepada apa yang pernah disampaikan bersama semangat HLM.Nursalim “anggaran bukan halangan” bisa direnungkan betapa dalam maksudnya. Namun apakah iya, pemegang kebijakan akan terlena dengan semangat itu? Sementara diposisi yang sama peran MGMP dan KKG jauh lebih penting dari “………..” (kebijakan) menjual buku K-13. MGMP, MKKS, KKG jauh lebih penting dari 100 rupiah kali 1000 siswa, Saya dapat berapa?. Jauh lebih penting dari menjual nama Bupati untuk rekomendasi proyek?.

“anggaran bukan halangan” kasian prinsip ini, bersama SPM Dikdas yang sangat lucu tidak dipahami arahnya kemana?, Oleh orang Dikdas sendiri (mengerikan). Dan yang paling kasian adalah pigur-pigur yang berprinsip ini rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran demi pelayanan yang lebih layak untuk generasi Indonesia.

Mungkin Anda tidak percaya, betapa pentingnya peran MGMP dan KKG ini, baiklah saya mengutip dari laman yang juga pernah saya baca di beberapa Koran Lokal dan berita audio/visual ketika opening ceremony MGMP 12 Oktober 2015 silam. Baca saja, salahsatu beritanya seperti yang ada di gambar, karena ada yang lebih penting bunyinya, untuk ditulis lebih lengkap.

[caption caption="Kliping Berita OC MGMP"]

[/caption]

Ini terkait (bukan) tulisan ini saja yang ngome-ngenyang atau pernyataan pendapat dimuka umum, melainkan tulisan ini juga: Menyikapi rendahnya prestasi akademik siswa.

Dikutip dari laman itu Hambatan klasik lainnya adalah minimnya dana. Dana untuk kegiatan forum KKG/MGMP/MGMD pada umumnya berasal dari APBD. Anggaran ini diusulkan dinas pendidikan melalui pemerintah daerah dan disetujui DPRD. Di tengah rendahnya anggaran pendidikan, pengalaman menunjukkan bahwa anggaran yang disetujui pemerintah dan DPRD untuk forum ini boleh dikata sangat kecil. Sebagai contoh dalam satu tahun anggaran setiap MGMD hanya mendapat anggaran sebesar lima juta rupiah untuk sepuluh kali kegiatan. Itu pun kalau diterima penuh. Bisa dibayangkan satu kali kegiatan dengan anggaran lima ratus ribu rupiah, tentu tidak cukup untuk honor nara sumber, pembelian alat tulis, konsumsi dan uang transpor peserta sebanyak 30 orang misalnya.

Biasanya pengurus berharap pada pihak sekolah. Namun, setali tiga uang. Ada sekolah yang kurang antusias untuk mendukung forum ini dengan berbagai alasan. Misalnya, seringnya mengikuti forum ini membuat guru banyak meninggalkan kelas yang berakibat tidak tertibnya kelas. Akibatnya sering penentu kebijakan sekolah tidak mengizinkan guru mengikuti forum ini, apalagi memberi sumbangan dana. Padahal, kalau mau berpikir jernih dengan bertambahnya kualitas guru, sekolah dan murid bersangkutan akan mendapat manfaat yang cukup besar. Akhirnya perlu disadari bersama bahwa peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan berkesinambungan namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semuanya terpulang pada pihak-pihak yang terkait. Apakah pemerintah mau memberikan dana yang cukup untuk peningkatan profesi guru?.

Apakah penentu kebijakan sekolah mau mendorong para guru untuk berkembang maju? Apakah guru itu sendiri mau mengembangkan profesinya ?. Tentu saja, kita berharap pihak-pihak terkait turut menghidupkan forum ini karena degan meningkatnya kualitas guru akan menguntungkan sekolah dan siswa. Kalau tidak, para guru tak usah kecewa, maju terus karena pengembangan profesionalisme guru merupakan keperluan pribadi. Siapa yang akan mengembangkan profesionalisme guru, kalau bukan dirinya-sendiri.

[caption caption="Juwiter"]

[/caption]Diakhir paragraf, penulisnya berkata Siapa yang akan mengembangkan profesionalisme guru, kalau bukan dirinya-sendiri”. Kalimat motivasi yang sungguh ”IBA” membacanya. Setara dengan motto yang dilontarkan HLM Nursalim dan digaungkan oleh Juwiter ”Dipaksa, Terpaksa, Terbiasa, Bisa, Luar Biasa”. Moto yang membuat HLM.Nursalim digelar ”KASI TERSIBUK” karena undangan full evaluasi, refleksi, dan kontemplasi MGMP dan KKG sekaligus undangan untuk memotivasi guru-guru,"Undangan, kehadiran dan perjuangan yang tak terhalang anggaran"

"Untuk menjadi guru yang luar biasa memang harus memaksa diri, walau merasa terpaksa, walau kesannya dipaksa, tapi lama-lama bisa dan InsyaAllah akan menjadi luar biasa,"ujar mantan Kepala Sekolah yang menyulap sekolah gersang menjadi sekolah Adiwiyata ini. Walau belum go Nasional, tapi Program Adiwiyata yang satu-satunya di Lombok Timur saat itu, mampu memberikan dampak yang signifikan untuk Dusun lokasi sekolah 

Tapi sayang yang ”IBA” ini hanya sekedar bisa menulis, Hasbunallah untuk perjuangan para guru, al-Fatihah untuk para figur inovatif dari Juwiter disetiap mengawali dan membuka latihan serta ”entahlah” rintihan orang-orang yang merasa teraniaya oleh tingkah pegawai-pegawai apatis, hanya yang maha Kuasa yang membalas-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun