###sumber foto: detik.com
Telah selesai pesta demokrasi, namun apakah pesta tersebut berakhir damai?, nyatanya tidak. Kedamaian dari pesta yang seharusnya terjadi, justru menyisakkan keprihatinan akan nilai demokrasi yang tercoreng. Demokrasi adalah konsekuensi logis dari keinginan rakyat yang sempat terbelenggu oleh system yang otoriter pada rezim Suharto. Bukan hanya itu, demokrasi juga adalah bagian dari system terbaik dari system lainnya yang menjadi harapan dan pilihan dari semua kalangan masyarakat. Karena sejatinya Demokrasi hanya akan muncul pada pemimpin yang responsive.
Pada 9 juli lalu, Indonesia dihadirkan pada sejarah pemilu baru, yakni sejarah yang hanya memberikan kesempatan pada dua pasang calon presiden untuk maju dalam pemilihan umum Presiden 2014-2019. Kedua pasang calon yakni Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, diharapkan benar-benar dapat merealisasikan apa yang “diumbar” pada perdebatan capres yang dilangsungkan beberapa kali pada beberapa waktu lalu. Tapi kini pada saat pemilihan itu berlangsung, justru harapan tersebut tiba-tiba tercoreng oleh kesalahan tafsir pada etika berpolitik.
Kesalahan tafsir tersebut terjadi ketika pasangan capres dengan bangga dan meyakinkan mengumumkan pada rakyat bahwa dialah pemenang pemilihan Presiden 2014-2019. Keyakinan yang disampaikan pada kurang lebih satu setengah jam selepas pemilihan umum tersebutlah yangmerupakan kesalahan tafsir yang mencoreng nilai demokrasi.
Sekalipun pengumuman kemenangan itu berdasarkan atas hasil perhitungan cepat atau Quick Count. Namun tidaklah patut hal tersebut disampaikan dengan jarak waktu yang terlampau singkat setelah Pemilu. Ada tiga Alasan yang melatarbelakangi kenapa hal tersebut dikatakan tidak patut. Pertama, perhitungan cepat tersebut bukanlah perhitungan yang hasil akhirnya sah didepan hukum. Kedua, perhitungan cepat tersebut tidaklah mewakili seluruh penduduk republic Indonesia, namun hanya mewakili sampel yang diambil pada beberapa tempat saja, artinya bahwa seorang pemimpin tidak bisa mewakilkan suara mayoritas penduduk RI pada sampel yang diambil pada beberapa persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia saja. Terakhir, bahwa pengumuman kemenangan tersebut adalah pengumuman kemenangan “semu”, karena sejatinya kemenangan itu membahagiakan, bukan sebaliknya, kemenangan tersebut justru menyisakkan persolan yang menghawatirkan.
Keadaan yang cukup meresahkan lagi adalah, ketika Pasangan calon yang kemudian meyakini kemenangan tersebut, mengumumkan kemenangannya bukan hanya pada kalangan team mereka semata, tapi mengumumkan kemenangan itu secara luas dan langsung didepan ribuan pendukungnya yang juga disiarkan langsung oleh salah satu stasiun TV. Tentu hal tersebut justru memicu ketegangan pada kubu pesaingnya. Sejatinya kedua pasangan calon lebih mawas diri dan menghargai makna demokrasi dan etika berpolitik yang sesungguhnya.
Bisa dikatakan bahwa, hal tersebut justru mencoreng nilai-nilai demokrasi sekaligus mengaburkan nilai etika berpolitik. Dalam etika berpolitik, apalagi negara ini adalah negara hukum, maka yang seharusnya dikedepankan adalah kepemimpinan yang mengedepankan hukum diatas segala-galanya. Pemilihan legislative dan eksekutif pada Negara ini hanya akan sah ketika sudah menjadi keputusan KPU dan itulah keputusan hokum. Karena KPU lahir dari pengamanahan undang undang, kecuali ada pihak yang merasa keberatan atas putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi adalah jalan terakhirnya. Hal inilah yang seharusnya dihormati bgai semua pihak apalagi pada mereka calon pemimpin negeri ini.
Dalam suasana gaduh tersebut, akhirnya Presiden angkat bicara. Dalam seruannya, Presiden mengatakan bahwa, “Agar masing-masing pihak yakni pasangan calon presiden dapat menahan diri untuk tidak memunculkan ketegangan yang berlebihan”. Seruan tersebut cukuplah bijak jika benar-benar difahami oleh pasangan calon, namun rupanya hal tersebut tidak difahami. Hingga seruan itu berakhir pada salah satu calon yang mengumumkan kemenangannya pada rakyat yang lebih luas lagi dan dengan mengatakan bahwa dialah Presiden 2014-2019. Maka dalam hal ini seruan seorang kepala negara menjadi terlangkahi oleh hasil lembaga yang notabenenya bukanlah lembaga sah negara.
Yang patut diperhatikan adalah, ketika pasangan calon mengumumkan kemenangannya, hal yang muncul justru ketegangan antar pendukung dan permasalahan system kenegaraan yang menjadi tidak jelas. Karena menjadi tidak mudah ketika sebagian rakyat sudah menyimpan memori bahwa yang menang adalah pasangan A tapi ternyata A kalah menurut hasil keputusan KPU. Hal inilah yang menciptakan suasana semakin tidak kondusif.
Pada dasarnya tiap lembaga survey berhak untuk menyampaikan hasil perhitungannya. Terlepas dari problematika wacana yang berkembang, bahwa lembaga Quick Count sengaja memenangkan jagoannya masing-masing. Namun yang harus diperhatikan adalah bagaimana kemudian dampak dari respon yang diberikan dari pendukung pasangan calon. Maka tidaklah patut jika respon tersebut justru menjadi putusan sepihak. Konstitusi jelas mengatakan bahwa negara kita adalah negara hukum, maka apapun yang terjadi, semua keputusan adalah hasil dari pada keputusan hukum, tanpa terkecuali, semua pihak harus tunduk pada keputusan tersebut. Bukan sebaliknya, hukum yang tunduk pada kehendak penguasa atau sebagian rakyat saja. Begitupun dengan lembaga-lembaga survei yang ada, sejatinya benar-benar bekerja atas kepentingan rakyat, bukan justru menjual integritas demi kepentingan sepihak semata.
Negara ini hanya akan maju pada tiga hal, yakni integritas, independensi lembaga-lembaga, serta konsistensi negara pada undang undang yang berlaku. Namun kalau ketiga hal tersebut tidak dimiliki, maka wajar jika kekuasaan yang justru menjadi tuhan dan demokrasi hanyalah menjadi angan-angan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H