Â
Sesaat sebelum kembalinya M. Rizieq Shihan (MRS) ke tanah air, MRS menyerukan kepada pengikutnya dengan jargon "revolusi akhlak". Katanya sih suatu gerakan perubahan sistem dengan perubahan yang secepat-cepatnyanya. MRS mengajak perubahan dilakukan dengan mengubah sistem dan penegakan hukum. Ditujukan agar penegakan hukum yang adil. Menurutnya, tidak ada satu orangpun yang kebal hukum di negeri ini.
"Jadi semua harus diperlakukan dengan adil. Siapa bersalah, siapa melanggar hukum diproses secara hukum. jadi jangan ada penegakan hukum itu ibarat pisau tajam ke bawah tumpul ke atas. Karena diskriminiasi hukum itu berbahaya sekali bagi keberlangsungan bangsa indonesia," terangnya seperti dikutip dari kabar24.bisnis.com.
Namun sayang ada yang luput dari perhatian MRS soal revolusi akhlak tersebut. Meminjam istilah  Aa Gim, mestinya mengubah sikap itu mulai dari yang terkecil. Nah, MRS dan FPI-nya "halu" ingin mengubah Indonesia dengan sesuatu yang besar. Mengubah sistem dan pengakkan hukum Indonesia.
Jika demikian, mestinya MRS dan FPI-nya sebelum mengajak orang lain, terlebih dahulu merevolusi akhlaknya sendiri dan ormasnya tersebut. Untuk lebih meyakinkan anda, silahkan telusuri ke google seberapa banyak tindakan MRS dan FPI-nya itu yang menyebabkan kerusakan (mafsadat) bagi kemaslahatan umat manusia Indonesia.
Memori kolektif publik akan menyimpan bahwa FPI sebagai ormas beringas yang mengutamakan kekerasan, arogan, dan maunya menang sendiri. Jika ada kasus hukum yang menjerat imamnya, pentolan lainnya mengerahkan massa dan tumpah di jalanan. Menuntut keadilan dengan cara tidak adil justru kontra-produktif dengan cita-cita revolusi akhlak tersebut.
Sebagai contoh, kepulangan MRS dari Arab Saudi menyebabkan bandara lumpuh dan akses tol tidak normal akibat tumpah ruahnya pengikutnya yang fanatik menyambut MRS di fasilitas publik. Yang lebih parah, pengikutnya berkumpul di kala Indonesia tengah berjuang menekan angka penyebaran wabah. Hal itu menunjukkan arogansi mereka yang maunya seenak edewe dalam bertindak.
Contoh yang lain ketika Pondok Pesantren Markaz Syariah, Megamendung pimpinan MRS yang mencomot lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII digunakan area ponpesnya. Tak tanggung-tanggung, pimpinan FPI mencomot area lahan PTPN seluas 30,91 hektar. Tindakan ini jelas sembrono dan sangat merugikan PTPN. Ironisnya lagi PTPN telah lama ingin mengambil haknya kembali sejak markas syariah yang milik pimpinan FPI itu didirikan pada tahun 2013. Beberapa kali somasi dilayangkan, namun mereka bersikukuh dan mengaku itu adalah lahan milik FPI.
Surat somasi dari PT PTPN VIII kepada Ponpes Markaz Syariah itu tertanggal 18 Desember 2020. Dituliskan, ada permasalahan penggunaan fisik tanah HGU PTPN VII, Kebun Gunung Mas seluas kurang lebih 30,91 hektare oleh Pondok Pesantren Agrokultur Markaz Syariah sejak 2013 tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII. Markaz Syariah diminta menyerahkan lahan tersebut selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterima surat ini. Jika somasi tidak diindahkan, akan dilaporkan kepada Polda Jawa Barat.
Dari sini kita tahu kalau revolusi akhlak adalah gincu pemanis kata. Retorika tanpa epistemologi yang jelas. Nihil tindakan di dunia nyata. Revolusi akhlak dalam pikiran MRSadalah dia dan kelompoknya bisa berbuat sesuka hati tapi akibat dari tindakannya, mereka ogah terima. Rentetan kasus MRS dan pengikut FPI menjadi bukti empiris mestinya revolusi akhlak dimulai dari dalam diri mereka sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H