Malam itu aku terbangun. Seketika itu mataku langsung tidak mengantuk. Aku mendapati bundaku sedang menangis. Aku sangat takut. Bundaku waktu itu memakai kain serba putih. Beliau menangis dalam kamarnya yang malam itu tidak bercahaya karena dipadamkannya lampu.
Aku mencoba bangun dari tempat tidurku. Aku mencoba Manahan rasa takutku untuk melihat mengapa bundaku menangis. Perlahan-lahan, bahkan dengan mengendap-endap saya berjalan menuju ke kamar ibundaku.
Dengan suara gemetar bundaku melantunkan kata-kata. Ah, entah kata apa itu. Samar-samar aku mendengar beliau menyebut-nyebut namaku. Aku semakin penarasan. Aku semakin mendekat ke beliau. Sambil memasang telingaku kuat-kuat.
“Yaa Tuhanku, hambamu tidak kuasa lagi menanggung beban ini.” Begitu lirih lisan bundaku dalam tangis beliau.
“Aku sudah terlalu tua untuk menerima beban ini. Aku tidak bisa mengemban amanahMU untuk mendidik anak-anakku. Pasti Engkau murka kepadaku wahai Rabb.” Begitu kata beliau lirih. Terlihat bundaku menangis. Tentulah air matanya berurai.
Yaa Tuhan, ternyata ini yang dilakukan bundaku setiap malam. Mendoakan aku dengan air matanya. Tapi apa balasanku? Apa? Saat sekolah, aku lebih senang bermain dengan teman-temanku. Saat di kelas, aku lebih asyik menggambar atau ramai sendiri dari pada mendengarkan pelajaran guruku.
Maafkan aku, Tuhan.
Maafkan aku, Bunda.
-------
Thorif, disampaikan pada Kelas Menulis SD di SDIT Hidayatullah Yogyakarta
Rabu, 11 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H