Mohon tunggu...
Elesia
Elesia Mohon Tunggu... Administrasi - I'm a writer

Penulis CERPEN ANAK Penulis PUISI

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Andai Kita Disatukan, Tidak Diduakan (5)

7 April 2018   15:23 Diperbarui: 21 April 2018   09:26 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
harumisujatmiko.wordpress.com

Mia pulang dari cafe dengan perasaan tak menentu. Disepanjang perjalanan, ia mulai berpikir bahwa Sindi memang benar-benar tidak menyukainya.
William   : Hai sayang, sudah pulang?
Mia           : (Mengangguk)
William   : Kau lelah? Biar aku bantu packing ya?
Mia           : Kau sudah packing?
William   : (Mengangguk) 
Mia           : (Menatap William dengan wajah sendu. Ia berpikir sejauh mereka menikah, William tidak terlalu banyak menuntut tugasnya sebagai seorang istri)
William   : Kenapa Mia? (Mengelus kepalanya) Kok bengong sendiri? Apa yang kau pikirkan??
Mia           : (Menggeleng) Seharusnya aku yang packing baju kita sayang. Itu sudah tugasku sebagai istri.
William   : Hahahah.. yasudah kalau begitu,packing sana bajumu sendiri ya.
Mia           : (Senyum) Baiklah.
Keesokan harinya William dan Mia berangkat bulan madu. Mereka berlibur selama empat hari tiga malam. Sindi mengurus lokasi bulan madu mereka, karena ia tahu William sibuk memikirkan Mia dan Mia sibuk memikirkan Ryan. Itupun dilakukan Sindi karena terpaksa, didesak ibunya yang berharap William dan Mia harus segera pergi berbulan madu.



Sindi dan Ryan bertemu di rumah sakit. Mereka berbicara berdua di dalam ruangan
Sindi.

Sindi : Hai Ryan, Silahkan duduk. Sudah check darah?
Ryan : (Mengangguk)Sudah , Dok.
Sindi : (Memperhatikan hasil check darah William) Bagus, semua hasilnya bagus.
Ryan : Jadi aku bisa kemo hari ini?
Sindi : Ya. Kurang lebih satu jam lagi ya. Nunggu giliran (tersenyum).
Ryan : (Diam -- menatapnya lama)
Sindi : Kenapa menatapku seperti itu? (sadar, meskipun sedang memeriksa record kesehatan William)
Ryan : Kita bisa bicara sebagai teman?
Sindi : Apakah yang akan kita bicarakan sebagai teman ini, adalah tentang Mia? (tembak Sindi)
Ryan : (Mengangguk ragu)
Sindi : (Menggeleng) Kita tidak bisa menjadi teman, Ryan.
Ryan : (Alisnya meninggi. Tidak tepikirannya sama sekali begitu jawaban Sindi)
Sindi : Kita bisa menjadi teman untuk hal lain, khusus tentang yang satu itu..(menggeleng)
Ryan : Kau sepertinya sangat membencinya? 
Sindi : Aku tidak harus mengutarakan isi hatiku padamu kan? (senyum) Itu akan membuat ke profesionalanku berkurang (setengah berbisik -- bercanda)
Ryan : Hahahaha.. baiklah. Kalau begitu aku ke ruang kemo dulu.
Sindi : Silahkan!


Sindi merasa Ryan ingin membicarakan hal yang penting. Dan ia berpikir ulang mengenai apa yang disampaikan Ryan barusan. Segera semuanya itu buyar ketika ada telepon masuk dari William.
William : Sin, kamu memang yang terbaik!
Sindi       : (Senyum)Kenapa?
William : Hotel pilihanmu is the best!
Sindi       : Harus donk! Yang terbaik untuk yang tersayang.
William : Thankyu adikku sayang. Mia juga senang sekali loh!
Sindi       : (Senyumnya seketika hilang)Oh.. baguslah.
William : Loh kok nadanya berubah? Masih kesal sama Mia?
Sindi       : Ya.. kau tau sendiri aku bagaimana, Wil!
William : Kau sudah besar, Sin. Jangan sering cepat kesal. Harus lebih banyak berpikir positif donk!
Sindi       : Hmm..! Sudahlah, nikmati saja bulan madunya.
William  : Baiklah kalau begitu. Selamat bekerja ya.
Sindi menutup teleponnya. Mendesah panjang, kemudian pikirannya beralih lagi ke Ryan.


Keesokan harinya Ryan masih berusaha mengajak Sindi bicara. Kali ini Sindi memilih mengiyakan dengan syarat berbicara di luar rumah sakit, di cafe yang sama saat ia mengajak Mia bertemu.

Sindi      : Apa yang ingin kau bicarakan Ryan?
Ryan      : Apa kita tidak memesan minuman dulu?
Sindi      : (Mengangguk pelan -- mengangkat tangannya mengisyaratkan pelayan agar mendekat)
Ryan      : Aku pesan teh susu hangat (mengucap pesanannya duluan saat pelayan datang)
Sindi      : Cappucino
Ryan      : (Diam -- menatapnya lama)
Sindi      : Silahkan, Ryan.
Ryan      : Kita sekarang bicara sebagai teman kan?
Sindi      : (Mengangguk ragu)
Ryan      : (Senyum)Aku sangat bersyukur bertemu adik William di rumah sakit yang sama di tempat aku di rawat. Lebih bersyukur ternyata kau yang jadi dokterku.
Sindi      : (Tidak merespon, menunggu Ryan melanjutkan kalimatnya)
Ryan      : Kau sepertinya sangat membenci Mia ya? 
Sindi      : (Senyum -- menyirup kopinya yang baru saja di antar pelayan) 
Ryan      : Aku sangat menyesal ia membuatmu kesal.
Sindi      : Kenapa kau yang menyesal?
Ryan      : Karena ia jelas sekali masih sangat memperhatikan kesehatanku. Dari awal aku memang tidak ingin dia mengetahui sakit ini.
Sindi      : (Mengernyitkan dahinya)
Ryan      : Aku bisa memahami perasaan William. Ia sangat baik hingga menahan semua kegelisahan dan pertanyaan yang tak bisa dilontarkannya. Karena itu aku ingin kau membantuku agar William bisa mengendalikan Mia.
Sindi      : Tunggu dulu.. apa maksud dari semua kalimatmu ini?  
Ryan      : Kepolosan Mia suatu saat akan menjadi boomerang bagi hubungan mereka kalau William tidak tegas. Seseorang diantara mereka harus ada yang memimpin arah pernikahan itu, dan seharusnya William yang di posisi itu. Ia tidak bisa selalu mengiyakan apa yang diinginkan Mia, itu adalah kesalahan besar yang berujung perpecahan. Kutebak, William sangat tidak jujur pada dirinya dan takut Mia tersakiti. Tapi wajar jika Mia tersakiti oleh perkataannya yang benar.
Sindi      : Aku masih belum mengerti?
Ryan      : Aku hanya memohon, kau membantu mereka agar saling terbuka. Jangan pisahkan mereka.
Sindi      : (mengernyitkan dahinya)
Ryan      : Bisakan?
Sindi      : Hahaha... permintaan apa itu? Kupikir kau ingin aku mengacaukan hubungan  mereka agar kau bisa bersama Mia!
Ryan      : Dan kau bisa bersama William?
Sindi      : (Matanya membesar -- ekspresi wajahnya berubah)
Ryan      : Kau menyukai William kan?
Sindi      : Tentu saja aku menyukainya. Dia adalah saudaraku satu-satunya.
Ryan      : (Menggeleng) kau mencintainya!
Sindi      : Kau gila?
Ryan      : Aku tahu kalian bukan saudara kandung.

Ryan mengetahui cerita tentang keluarga Sindi dari seorang perawat tua, yang dulu sempat merawat orangtua William sebelum meninggal dunia. Dulu, orangtua Mia dan orangtua William adalah tetangga yang akrab. Sebuah kecelakaan terjadi ketika mereka berumur tujuh tahun. Orangtua dan kakak Mia tewas di rumah mereka, yang habis dilahap si jago merah. Saat itu Mia sedang bermain ke rumah William. Tak ada yang tersisa dari rumah Mia. Dan tidak ada dari keluarganya yang datang ke rumah William, untuk menjemput Mia. Ibu William memutuskan untuk merawat dan membesarkan Mia, berharap suatu saat nanti keluarganya akan datang menjemput. Tapi sampai sekarang, tak ada yang datang.  

Sindi      : (Menatap ke arah luar kaca sambil menyirup kopinya)
Ryan      : Aku tidak menyalahkanmu karena menyukai William. Tapi aku menyalahkanmu yang mencoba untuk mengadudombakan mereka berdua dengan mempengaruhi William dan memanfaatkan hubungan lama yang kumiliki bersama Mia.
Sindi      : Apa kau sedang menghakimiku?
Ryan      : Apa ada kalimatku yang salah?
Sindi      : (Diam)
Ryan      : Aku tahu kau pernah diam-diam mengatakan kepada Mia kalau aku akan mati. Kau memancingnya agar berupaya menemaniku sebisa mungkin disisa hidupku. Dan pastinya  itu cara yang ampuh untuk membunuh kepercayaan William padanya. Disisi lain kau menyalahkan dia karena telah mengecewakan William. Kau berusaha membuatnya bingung.
Sindi      : (Menggeleng-geleng) Itu juga tidak akan berhasil, Ryan.
Ryan      : (Puas mendapat kalimat bermakna pengakuan)Karena mereka sudah satu, Sin.
Sindi      : (Menyirup kopinya lagi. Berusaha sebiasa mungkin) Tapi Mia memang jelas sekali tidak ingin kehilanganmu juga. Dia Rakus.
Ryan      : (Menggeleng) Karena kau yang membuatnya merasa bersalah dengan sakitku ini. Apakah kau percaya bahwa aku juga sangat terluka ketika kau menggunakan penyakit ini untuk kepentingan perasaanmu? Kau sedang mengorbankan perasaan tiga orang (Mengangkat jari jempol, telunjuk dan jari manis berurutan)Mia, William dan Aku.
Sindi      : (Mengusap wajahnya secara spontan) Dia tak layak mendapatkan William. (Semakin gusar)
Ryan      : Hmm?
Sindi      : Rasa cintaku pada William tak sebanding dengan yang dimilikinya.
Ryan      : Karena rasa cinta itu tidak bisa dibandingkan. Cinta yang kau miliki berbeda dengan cinta yang dimiliki Mia.
Sindi      : (Tertawa sinis-sambil menengadah)Kau sok tahu!
Ryan      : Cinta yang kau miliki itu, adalah cinta yang takut kehilangan. Kau tak ingin William yang selama ini melindungi dan memperhatikanmu, tak lagi melakukan itu.
Sindi      : Jangan sok tau!!
Ryan      : Sin.. (menatapnya sendu) aku tahu apa yang kau rasakan. Aku juga masih sangat mencintai Mia. Tapi jalan terakhir yang kupunya untuk mencintainya terakhir kali sebelum menjadi milik orang adalah, memastikan yang memilikinya nanti adalah pria yang layak sebagai pendampingnya -- menurutku. Juga keluarganya. Dan aku sudah lakukan itu, sehingga aku bisa mengetahui semua ini.
Sindi      : Bagus. Kau melindunginya dengan cara yang jantan. Dan aku juga melakukan itu.
Ryan      : Melindunginya dengan cara menyatukan kami kembali?
Sindi      : (Menarik nafas panjang) Sudahlah, kita terlalu banyak bicara hari ini. (Melirik jam tangannya -- menarik tasnya) Baiklah, aku duluan. Aku harus kembali ke kantor.
Ryan      : (Menangkap tangannya) Kau masih tetap mau membantuku kan?
Sindi      : (Menoleh kebelakang) Membantu menjelaskan kepada William tentang Mia dan membuat mereka saling memahami?
Ryan      : (Mengangguk)
Sindi      : Aku paham. Inilah caramu mencintai Mia, dengan melindungi pernikahan mereka. Tapi Ryan, kupikir kau hanya sedang mengujiku disini atau mungkin berusaha menyingkirkanku untuk wanita yang kau cintai itu! (Menghentakkan tangannya hingga lepas dari genggaman Ryan)
Ryan      : (Membayar minuman dan berlari mendapatkan Sindi) Sin! (Menarik tangannya lagi)
Sindi      : Awas, Ryan! Jangan halangi jalanku. Jangan buat aku semakin kesal. (Nada Meninggi)
Ryan      : Kenapa kau kesal? Apa alasan yang masuk akal sehingga kau kesal? (nada suara tetap datar)
Sindi      : (Matanya mulai berkaca-kaca.)
Ryan      : (Ia merasa jadi tak enak sendiri karena terlalu memaksakan Sindi.)
Sindi      : Kau tahu apa tentang aku?! Yang tahu tentang aku hanya William! Dan yang mengetahui jelas tentang dirimu hanyalah Mia! (Menengadah, menahan air matanya agar tidak jatuh) Jadi terserah kau mau jadi pahlawan untuk Mia, tapi jangan memaksaku untuk melakukan hal yang sama. Aku tidak mau kehilangan William. Titik!
Ryan      : Sebenarnya kau takut kehilangan kasih sayang William atau takut kehilangan jiwa dan raganya?
Sindi      : (Berjalan melewati Ryan, meninggalkannya tanpa kata-kata)
Ryan      : (Masih mengikuti Sindi)Kau salah tanggap dengan perasaan aman, perlindungan dan kasih sayang William selama ini kepadamu.
Sindi      : Diam, diam, DIAM! (setengah berteriak sambil menggepal kedua tangannya)
Ryan      : (Memegang tangannya lembut)Sin, William itu kakakmu. Dan dia bukan kakak yang mencintaimu sama seperti ia mencintai Mia. Dia melihatmu sebagai seorang adik. Kau hanya mencoba melindungi dirimu sendiri dari perasaan nyata William padamu. Itu yang menyakitimu sekarang, bukan orang lain atau Mia sekalipun!
Sindi      : (Menampar Ryan) Berani sekali kau menceramahi dan menyentuhku! (Setengah berlari meninggalkan Ryan -- air matanya akhirnya jatuh)
Ryan      : (Menghela napas panjang -- menatap punggung Sindi hingga hilang dibalik kerumunan banyak orang) Kau hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini, Sin. (nada pelan). Bagiku, ini juga tidak mudah. Tapi akan lebih menyakitkan jika mereka akhirnya berpisah karena kita. (bicara pada dirinya sendiri).

Ryan memutuskan untuk tidak menemui Sindi untuk beberapa hari. Ada perasaan bersalah yang tidak jelas yang terus mendiami otaknya. Hingga satu minggu berlalu, perawat yang biasanya menangani Ryan meneleponnya dan mengatakan bahwa ia harus datang melakukan tes darah. Ryan menjawab sedang berada di luar kota, ia berbohong. Ia tidak siap menghadapi Sindi yang mungkin sudah sangat terluka karena kata-katanya.

 

... bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun