Mohon tunggu...
Emshofi
Emshofi Mohon Tunggu... wiraswasta -

butuh pil nafsu menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rasyid Rajasa Tidak Mau Rugikan Negara

26 Maret 2013   19:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:10 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum sebagai panglima, aturan yang dibuat untuk keadilan. Kelemahannya, karena hukum hasil karya manusia, yang penuh salah dan lupa. Wajar, masih banyak lubang yang tidak mungkin tertutupi semua. Masih jauh bisa memuaskan rasa keadilan bagi semua.

Malangnya lagi, hukum itu berada di Indoensia. Negara penuh teka-teki, banyak kemungkinan terjadi di belakang layar. Mempermainkan pasal-pasal, karena saking cerdasnya merasa sebagai dewi keadilan. Jurus mabuk menghalalkan segala cara, membabi buta dengan ajian pamungkas mengeluarkan fulus. Hukum sebagai ajang transaksi.

Khusnudzon, berbaik sangka itu tidak berlaku pada kasus Mas Rasyid Rajas kata Pak Hakim yang terhormat. Hukum tidak pandang bulu, hukum berlaku bagi semua. Jangan dianalogikan hukum Indonesia seperti pisau, tajam ke bawah tumpul ke atas. Tidak.

Satu sisi, vonis percobaan bagi Mas Rasyid Rajas, bukan terdakwa Rasyid Rajasa menimbulkan preseden buruk. Tapi satu sisi lagi, memberikan pelajaran dan perenungan luar biasa. Yaitu, setiap pelanggaran hukum tidak harus berakhir di jeruji besi. Pintu maaf dan memperbaiki diri lebih manusiawi, dikembalikan ke keluarga untuk dikoreksi sendiri. Daripada di penjara Indonesia yang bukan rahasia umum lagi, penuh dengan drama.

Melanggar hukum tidak harus berakhir di penjara. Sungguh indah jika itu terjadi, semua dikembalikan ke rasa. Bukan teks book pasal-pasal buatan manusia, yang multi tafsir dan rentan untuk diperdebatkan. LP yang sudah overload akan berkurang, nyaman ideal dan tentu akan lebih manusiawi.

Negara juga akan tidak terbebani dengan anggaran menggaji petugas lapas yang semakin banyak, budjet makan minum berjuta napi sehari 3 kali. Oh,  sungguh terbayang berapa duit yang bisa dihemat. Belum lagi jika ada napi VVIP, harus pasang AC, menyediakan TV plasma, saluran Wifi, kamar khusus untuk kunjungan suami atau istri menyalurkan hasrat biologis dan lain-lain. Kan lumayan, duitnya buat bikin jembatan.

Yakinlah, Pak Hatta Rajasa bisa mendidik putra bungsunya, masih mampu memberi makan dan minum yang bergizi. Malulah, sebagai seorang menteri dan calon presiden ngemis-ngemis, menyerahkan anaknya untuk dirawat dan disuapi oleh duit negara di dalam penjara.

Prita, Antasari Azhar, Raffi, Jupe. Mereka sebenarnya juga mampu nyari makan sendiri kok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun