Pas open housenya Komodo, Â di istana hijau gemah ripah.
Bukan bencana, Cicak Buaya bertemu tak sengaja. Senyum tegur sapa tetap menyala, sungkan dan buang muka tak ada dalam kamus kita. Sadar dan percaya, bahwa permusuhan tak ada guna.
Tulus ikhlas meraja untuk selalu dipelihara, memupuk ikatan saudara, seia sekata dalam satu cita-cita di hari istimewa. Idul Fitri.
"Cak, Selamat lebaran, mohon ma'af dan hapuskan semua kesalahanku"
"Sama-sama bu. Bukanya terbalik, yang kecil  yang lebih banyak dosanya ke yang tua."
"Cak, serius Aku menyesal tidak bisa menjadi teladan bagi yang muda. Perusak generasi muda. Egois, keras hati dan kepala selama ini."
"Bu, bu. Anda terlalu merendah. Aku berhutang banyak, aku seperti sekarang ini karena belajar hidup dari Anda, yang sudah kenyang asam garam dunia. Aku yang selalu salah, yang kecil."
"Cak, usia tak selalu berbanding lurus dengan dewasa. Aku ini orang tua yang tidak tau diri, maunya menang sendiri. Budak hawa nafsu. Oh, betapa hinanya aku. Takut sekali aku akan panas neraka. Astaghfirullahaladzim."
Cicak mematung, diam tanpa kata.
Air mata Buaya mengalir deras, mengingat masa-masa yang sudah lewat. Punggungnya seolah berat menanggung segunung dosa. Perut buncitnya naik turun, seirama tangis sesengukkan yang susah direm. Spontan muncul tanpa rencana dan dibuat-buat.
Buaya memeluk erat Cicak di depannya, dramatis sekali dan sedikit ganjil pemandangan itu, luar biasa. Komodo sebagai tuan rumah memandang haru, dan ikut berkaca-kaca.