Sebagai orang yang menyukai aktivitas oraganisasi, saya senang jika mendapatkan banyak teman dari segala penjuru Nusantara. Ada keuntungan tersendiri ketika menjadi salah seorang pengurus pusat dalam sebuah organisasi. Saya memperoleh kesempatan untuk mengenal Indonesia, dengan berbagai adat istiadat dan budaya. Tali persaudaraan pun terjalin erat dalam organisasi tersebut.
Pernah suatu ketika, saya ditugaskan oleh organisasi untuk mengunjungi Provinsi Lampung. Saya harus memberikan pengarahan seputar organisasi. Saya disambut ramah oleh para pengurus organisasi di cabang Lampung. Mereka sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk saya, baik itu penginapan serta jadual acara dan kunjungan yang harus saya ikuti.
Hari pertama kunjungan sudah tentu padat dengan acara-acara formal. Saya memberikan pidato pengarahan tentang aturan dan kebijakan organisasi yang terbaru serta perkembangan di pusat, yang berkedudukan di ibukota Jakarta. Dalam acara formal seperti itu, teman-teman organisasi juga masih bersikap resmi. Walau kami juga berdiskusi, tetapi masih dalam batas-batas kesopanan antara pengurus pusat dan daerah.
Namun ketika acara sudah usai, satu persatu tamu membubarkan diri. Maka yang tinggal adalah para pengurus inti dan beberapa kader yang tinggalnya cukup dekat. Saat itulah 'pakaian kebesaran' ditanggalkan. Kami mulai bersikap bebas seperti dengan teman-teman bermain. Kami tidak lagi membicarakan organisasi, tetapi tentang kehidupan sehari-hari.
Pada saat itulah cangkir-cangkir kopi dikeluarkan. Kopi hitam pekat dengan asap mengepul membuarkan bau yang harum dan menggugah semangat. Siapa yang tak tahu bahwa Lampung memiliki salah satu jenis kopi yang paling nikmat di Indonesia? Di sini adalah surga kopi. Saya merasakan bahwa Lampung adalah tempat yang tepat untuk melakukan pesta kopi.
Rasanya tak sabar untuk mereguk kenikmatan kopi Lampung yang menggoda. Tetapi karena kopi diseduh dengan air mendidih, butuh waktu pula untuk menunggu agak hangat. Lidah bisa melepuh jika panas-panas dihirup. Selama menunggu, ada penganan-penganan kecil yang dikeluarkan untuk menemani minum kopi. Tak lupa penganan khas Lampung, yaitu kripik pisang dalam aneka rasa.
Sambil minum kopi, kami bergurau, menggoda dan bercerita mengenai kehidupan masing-masing. Soalnya mereka senang membuka 'aib' teman-temannya sendiri. Tentu saja bukan yang bersifat rahasia pribadi.  Kami saling menertawakan tingkah sendiri. Ada yang malu-malu kucing, ada pula yang blak-blakan. pada waktu itu seperti tidak ada batasan di antara kami. Kami merasa seperti bersaudara. Ya, memang kami adalah saudara satu organisasi dan saudara sebangsa dan setanah-air.
Jika secangkir kopi tidak cukup, akan ada cangkir-cangkir berikutnya. Cerita yang tiada habisnya seperti kopi yang mengalir hangat di leher ini. Kehangatan kopi berjalan seiring dengan kehangatan persaudaran yang terjalin antara kami, walau berbeda suku bangsa. Sungguh, kopi dapat menyatukan kami semua.
Malam semakin larut, kopi pun telah habis direguk. Ketika mata mulai terasa berat, dengan enggan kami mulai berpamitan. Toh masih ada esok hari, kami bisa bercengkerama kembali. Â Kasihan juga jika orang rumah telah menunggu. Saya sendiri tidak keberatan meladeni mereka sampai pagi. Ini adalah silaturahmi, jembatan komunikasi antara pusat dengan daerah.
Saya berkeliling Lampung diantar oleh beberapa pengurus cabang. Setiap Kabupaten saya kunjungi, agar tidak ada yang merasa dianaktirikan. Dengan berkendaraan mobil, menyusuri jalan Trans Sumatera. Dari Bandar Lampung yang udaranya panas hingga ke Liwa yang dingin dan sejuk . Sesekali melewati hutan dan mendaki gunung. Dimana pun saya disambut dengan gembira. Dan selalu ada secangkir kopi yang menemani kami berbincang-bincang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H