Setiap orang bisa menulis, yakinlah itu. Mungkin kita masih ingat waktu masih berada di bangku sekolah, mengarang adalah salah satu hal yang diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia. Dalam tingkatan yang lebih berat, kita dilatih untuk membuat karya tulis tentang berbagai hal, dengan tema yang diberikan guru. Karena itu, tidak ada alasan bahwa seseorang tidak bisa menulis, tinggal bagaimana dia mengasah kemampuan di bidang ini.
Menjadi penulis yang handal, memang susah-susah gampang. Ada orang yang berhasil menjadi penulis terkenal, ada juga yang tidak. Namun kalau kita bersungguh-sungguh, maka kita akan tertoreh dalam sejarah dan dikenang orang. Begitulah yang ditekankan penulis terkenal Maman Suherman dalam acara Kompasiana Nangkring "Saatnya Warga Menulis" yang bertempat di Pekan Raya Indonesia, ICE BSD 6 November 2016 lalu. Hadir pula sebagai pembicara, Mas Iskandar Zulkarnaen dari Kompasiana, dan mbak Yayat, Kompasianer of the Year 2016. Sebanyak 30 orang teman-teman kompasianers turun menyimak acara tersebut.
"Kalau mau mengenal dunia, membacalah, kalau mau dikenal dunia, menulislah," demikian kutipan dari Pramoedya Ananta Toer, yang diucapkan kembali oleh Maman Suherman.
Maman Suherman sendiri adalah contoh penulis yang berhasil. Bagaimana tidak, dia adalah seorang wartawan kawakan, yang kemudian menjadi blogger. Maman telah menghasilkan buku-buku yang cukup laris di pasaran. Namun kesibukannya sekarang ini, justru menjadi pembicara adalam acara talk show, untuk berbagi ilmu menulis. Selain itu ia juga aktif menyuarakan keprihatinan terhadap masalah-masalah sosial melalui tulisan dan organisasi terkait.
Kiat Menulis
Menurut Maman, penulis yang baik harus banyak membaca. Karena dengan membaca kita memiliki banyak referensi, pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga tulisan yang dihasilkan memiliki kedalaman dan tajam. Sayangnya budaya membaca di Indonesia masih sangat minim. Berdasarkan catatan Unesco, tingkat baca orang Indonesia hanya 0,001. Â Artinya hanya ada satu orang yang membaca di antara seribu orang. Bahkan kita menduduki nomor dua dari belakang, sebagai negara ke 60 dari 61 negara dalam soal literasi. Â Wah, gawat ya. Bagaimana kita mau maju jika masyarakat enggan membaca dan miskin ilmu pengetahuan.
Rumus menulis yang banyak diketahui orang adalah 5 W + 1 H. Rumus ini juga saya pelajari di bangku kuliah dulu, untuk menulis berita.  5 W +1H adalah Who, What, When, WhyWhere dan How.  Seiring dengan perkembangan zaman, rumus itu tidak lagi memadai untuk membuat sebuah tulisan yang bagus. Bagi Maman yang berkepala pelontos ini, sekarang yang berlaku adalah 5 R yaitu Read, Research, Reliable, Reflecting, dan (W) Rite.
Read atau membaca menjadi suatu keharusan jika tidak ingin tulisan kita dangkal. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, referensi dan luasnya pengetahuan kita menjadi modal untuk membuat tulisan yang bermutu.  Lalu Research (riset) di mana kita terlebih dahulu melakukan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan dengan tema yang akan kita tulis. Dengan riset ini kita mendapatkan data dan fakta yang akurat. Namun kebanyakan kita terlalu malas untuk melakukan riset sebelum menulis.
Reliable adalah untuk memastikan bahwa tulisan itu benar. Ini memerlukan ketelitian seorang penulis. Bukan hanya soal pengetikan huruf-huruf, nama yang benar dan semacamnya. Tetapi juga cek kebenaran sumber data atau berita. Sedangkan Reflecting adalah bagaimana sudut pandang yang kita gunakan. Sudut pandang ini haruslah sesuatu yang berbeda, yang belum ditangkap oleh orang lain sehingga menarik untuk dibaca. Memang sudut pandang yang berbeda sering memancing polemik, kita tidak perlu takut akan hal itu.
"Jangan marah pada seorang penulis yang berbeda sudut pandangnya. reflecting adalah menghargai perbedaan," tandas Maman.
Terakhir adalah (W) rite, menulislah untuk kebenaran.  Dengan demikian kita membebaskan diri dari sebuah beban yang ada di dalam kepala.  Kebenaran harus diberitahukan dan dibagikan kepada orang lain. Kebenaran itulah yang membuat kita dapat memengaruhi orang melalui tulisan. Dengan 5 R ini, menulis tidak lagi menjadi kewajiban, melainkan sudah menjadi kebutuhan hidup.