Suara isak tangis lamat-lamat terdengar di telingaku. Kupikir aku hanya salah dengar. Tetapi ketika aku menajamkan telinga, suara itu semakin jelas. Ah, siapa yang menangis tengah malam begini. Aku terduduk di dipan bambu, mencoba melawan kantuk. Otakku menimbang-nimbang, perlukah aku mencari tahu, ataukah lebih baik tidur lagi.
Tetapi suara tangisan itu begitu menggangu. Ini pertanda bahwa aku takkan bisa tidur lagi. Oleh karena itu, lebih baik aku mencari orang yang menangis. Darimana asal suara tangis itu? sepertinya bukan di dalam rumah. Oh ya, pasti dari rumah sebelah yang hanya terpisah oleh pagar tanaman.
Suara dipan berderit ketika aku bangkit. Dengan berjingkat aku keluar kamar, agar tak membangunkan seisi rumah. Pelan-pelan aku membuka pintu depan tanpa menguncinya kembali. Di luar, suara itu semakin jelas. Ya, benar. asalnya dari rumah sebelah. Sebuah rumah kuno peninggalan zaman Belanda, besar dan kokoh. Sebuah rumah yang tak pernah disentuh oleh modernisasi, dipelihara sebagaimana adanya sejak dahulu.
Dengan sedikit perasaan bersalah, aku menyusup di antara pagar tanaman agar bisa langsung ke rumah tersebut. Lampu penerangan antik ada di halaman, agak temaram. Suara isak tangis berasal dari depan rumah tersebut. Maka aku menyeberangi taman menuju teras terbuka. Aku tak menyangka dengan apa kulihat. Seorang nenek duduk terpekur sambil menangis terisak-isak. Air matanya mengalir begitu deras melewati pipinya yang sudah sangat keriput hingga membasahi baju kebaya putih yang dikenakannya. Jari-jarinya yang gemetar berkali-kali berusaha mengusap airmata itu.
Namun ia menyadari kehadiranku. Nenek itu menoleh dan kaget melihatku,
"Kamu siapa," ia bertanya dengan logat Jawa yang kental.
"Saya cucunya Mbah Makmun yang tinggal di sebelah. Saya kesini karena mendengar suara Mbah menangis," jawabku lembut. Aku teringat bahwa orang tua harus diperlakukan dengan halus.
"Oh begitu. Maaf, Mbah Putri tidak bermaksud membangunkanmu, Cu,"
"Tidak apa, Mbah. Kalau boleh saya tahu, kenapa Mbah menangis? Barangkali ada yang bisa saya bantu." aku lalu duduk di sampingnya.
"Tidak ada apa-apa, Cu. Mbah hanya sedang sedih memikirkan nasib perempuan-perempuan Indonesia sekarang ini."
"Lho, kenapa Mbah sedih? Sekarang perempuan Indonesia hebat-hebat. Ada yang menjadi pilot, dokter, wartawan dan lain-lain. Malah ada yang sudah pernah jadi presiden," kataku heran.