Sudah menjadi tradisi di Indonesia kalau hari raya menyediakan angpao. Bukan hanya Imlek tapi lebaran Idul Fitri pun demikian. Suatu pemandangan yang lumrah melihat orang-orang antri di bank agar mendapat segepok uang kertas terbaru untuk dibagikan. Uang ini biasanya nominalnya tidak seberapa besar, paling banyak adalah uang kertas pecahan dua ribu s/d lima puluh ribu rupiah. Â Setelah selesai menunaikan shalat hari raya, siap-siap menerima kunjungan sekaligus uang kertas tersebut.
Haruskah kita bagi-bagi uang saat lebaran? bagaimana jika suatu waktu kita tak punya uang untuk dibagikan? Tidak ada hukum (baik dalam agama maupun UU) yang mengharuskan kita berbuat seperti itu. Hanya saja karena sudah menjadi tradisi, ada perasaan tidak enak jika tidak melakukannya. Apalagi jika tiap tahun kita sudah terbiasa dengan hal itu. Sanak famili atau tetangga bakal menanyakan jika tiba-tiba kita tidak membagikan uang kepada mereka. Padahal, keadaan ekonomi kita belum tentu sama seperti sebelumnya.
Bagi-bagi uang menjadi tradisi karena empat hal. Pertama, Untuk menunjukkan kesuksesan kita kepada kerabat dan handai tolan. Kedua, sebagai tanda syukur akan perolehan rejeki yang didapat tahun ini. Ketiga, untuk membahagiakan orang-orang yang dekat dengan kita, baik teman maupun keluarga. Keempat untuk mempererat tali silaturahmi antara mereka. Berapa pun nilai uang yang dibagikan tidak menjadi masalah, yang penting adalah pembagian itu selalu ada untuk merayakan lebaran.
Namun  roda kehidupan selalu berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Tidak setiap tahun kita dalam keadaan baik sehingga selalu punya uang untuk dibagikan saat lebaran. Bagaimana jika kita tiba-tiba terkena PHK? Bagaimana kita jika ternyata usaha kita bangkrut? Bagaimana jika kita sedang tertimpa musiba? dan lain sebagainya, yang membuat kita berada di titik nadir perekonomian. Jangankan membagikan uang, bahkan untuk bangkit dari keterpurukan saja begitu sulit.
Tidak ada gunanya berpura-pura kaya dan berusaha tetap membagikan uang. Memaksakan diri di luar kemampuan sama saja menjerumuskan diri sendiri ke dalam lubang yang dalam. Apalagi jika uang yang dibagikan adalah hasil berhutang atau terpaksa menjual sesuatu yang berharga. Jangan mempertahankan tradisi hanya untuk pencitraan. Tidak membagikan uang bukan sesuatu yang memalukan. Hal yang memalukan adalah kita dikejar penagih hutang atau ditangkap polisi karena perbuatan kriminal.
Pembagian uang bukan persoalan gengsi keluarga. Buang jauh-jauh anggapan itu. Ingat, yang mengatur rejeki adalah Allah. Kalau kita menyesali keadaan ekonomi yangs edang terpuruk, berarti menghujat Tuhan yang sedang menguji kita. Terima saja keadaan ini dengan hati yang lapang dan penuh kesabaran. Tidak perlu mempertahankan sesuatu yang memang bukan milik kita. Harta dan jabatan hanya titipan, tak ada yang langgeng atau permanen. Allah bisa mencabutnya kapan saja.
Maka sikap kita yang terbaik adalah berterus terang kepada keluarga dan kerabat yang terbiasa dengan pembagian uang. Jelaskan bahwa saat ini kita sedang mengalami masalah keuangan dan minta maaf karena tidak bisa berbagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Yakin saja bahwa mereka akan mengerti. Kalau pun ada tanggapan negatif, abaikan saja. Toh, bukan mereka yang menghadapi masalah ini. Â Justru hari raya ini akan mengingatkan kembali ke makna Idul Fitri yang sebenarnya. Saling memaafkan dan menyebar kasih sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H