Megawati Soekarnoputri, tentunya sadar bahwa semua badai politik di Indonesia saat ini berputar di sekitar dirinya. Namun sampai saat ini ia belum juga mengeluarkan sepatah kata pun di depan publik. Betul bahwa diam itu emas. Sayangnya pepatah itu tak sesuai lagi dalam situasi sekarang ini. Kebisuan itu hanya menimbulkan spekulasi yang bermacam-macam.
Sebagaiman tokoh politik lainnya, Megawati juga dikelilingi banyak orang yang sebagian adalah pembisik terpercaya. Ketika almarhum Taufiq Kiemas masih hidup, ia menjadi filter tersendiri agar Mega dalam posisi yang aman dan stabil. Tetapi kini tak ada yang melindungi Mega dari kaum oportunis. Sebab putrinya sendiri, Puan Maharani masih belum matang dalam kancah politik yang sebenarnya. Kemenangan Jokowi yang diusung PDIP dan empat partai lainnya, sesunngguhnya adalah ujian bagi Megawati Soekarnoputri. Apakah dia telah berhasil menjadi seorang negarawan, ataukah hanya tokoh politik yang sudah kedaluwarsa.
Seharusnya dalam masa-masa seperti ini, Mega harus mengingat semua apa yang telah diajarkan bapaknya, proklamator dan Presiden RI pertama yaitu Ir. Soekarno. Sebelum mencapai kemerdekaan, Bung Karno memimpin PNI. Namun ketika beliau telah menjadi Presiden, sikapnya berubah dan melepaskan diri dari belenggu partai. Soekarno mengatakan bahwa dirinya adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya PNI.
Maka biarkanlah Jokowi memimpin Indonesia dengan sebaik-baiknya, tidak dikendalikan oleh partai. Jokowi tidak bisa berbuat maksimal untuk negeri ini jika kakinya dijerat oleh tali-tali partai. Padahal dalam menghadapi globalisasi, Indonesia harus memiliki Presiden yang kuat, yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Demikian pula dalam menangani persoalan calon Kapolri. Tak layak membebani Jokowi dengan pilihan dari partai. Betapa pun besarnya jasa dan kontribusi BG terhadap partai. Mega harus menunjukkan bukti, bahwa PDIP benar-benar partai wong cilik, dan bukan sebagaimana yang sering dipelesetkan banyak orang sebagai partai wong licik. PDIP harus sejalan dengan visi dan misinya, yaitu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Bukankah Mega mengingginkan 'kejayaan Indonesia', seperti yang dituturkannya dalam talkshow Mata Najwa tahun lalu.
Mega, memang tidak mudah menjadi ibu negara, untuk seorang yang terbiasa hidup dalam penjara feodalisme selama ini, yang dipelihara orang-orang di sekitarnya. Sikap sebagai seorang negarawan telah ditunjukkan Mega ketika 'mengalah' untuk menjadikan Jokowi sebagai Calon Presiden. Kali ini, apakah sulitnya jika kembali mengambil sikap itu dalam kisruh Calon Kapolri. Mungkin pertarungan ego di dalam diri lebih sulit dikendalikan. Jika lebih menuruti ego, dia menjadi ibu tiri yang kejam terhadap bangsanya sendiri karena tidak peduli pada suara rakyat.
Pilihan ada pada Mega, mau menjadi ibu negara atau ibu tiri untuk negeri ini? Mungkin Mega harus diingatkan pada pepatah Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama. Bung Karno meninggalkan nama yang harum, yang terukir dalam sejarah. Tidakkah Mega ingin mengikuti the founding father?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H