Satu hal yang sering membuat saya merasa kesal dan sedih karena masyarakat tidak disiplin dalam membuang sampah. Meskipun telah berulang kali terkena bencana banjir, tidak membuat mereka menjadi jera. Sungai-sungai masih dijadikan tempat sampah.
Sebagai contoh, di kawasan Citayam, di mana saya telah tinggal selama beberapa tahun, masyarakatnya sangat jorok. Selain membuang sampah di sungai, juga membuang sampah seenaknya di tepi jalan, dan di halaman rumah orang. Ibu-ibu di sini lebih memilih menggunakan uangnya untuk membeli bakso daripada membayar iuran bulanan untuk angkutan sampah.Â
Bahkan saya mengalami sendiri tetangga yang hobi membakar sampah di samping rumah saya. Tentu saja asap yang dihasilkan masuk ke rumah dan membuat saya terbatuk-batuk. Ketika ditegur tidak terima, malah marah-marah.Â
Sampah rumah tangga menduduki posisi tertinggi penghasil sampah. Setiap tahun berapa ton sampah yang dihasilkan. Tidak heran jika TPA (Tempat Pembuangan Akhir) tak sanggup lagi menampung. Di Citayam ini, bau sampah yang menggunung di TPA hingga beberapa radius kilometer.
Karena itu saya sangat salut dan hormat kepada Siti Salamah. Wanita perkasa ini memberdayakan pemulung untuk pengelolaan sampah. Sebagian sampah bisa diolah menjadi suatu barang yang bermanfaat bagi kita.Â
Sampah dan pemulungÂ
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyodorkan fakta bahwa pada tahun 2020 total produksi sampah nasional mencapai 67,8 juta ton yang berarti sekitar 185. 753 ton sampah setiap hari  dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Menurut perhitungan, maka 0,68 kg sampah dikeluarkan satu rumah tangga.Â
Angka ini diprediksi semakin meningkat setiap tahunnya. Sehingga pada tahun ini Indonesia dikatakan sudah darurat sampah. Sementara banyak orang lain tidak peduli dengan menumpuknya sampah, Siti Salamah berusaha menemukan solusi untuk mengatasi masalah sampah.Â
Siti Salamah adalah pencetus ide Waste Solution Hub, penyedia solusi pengolahan sampah secara terintegrasi. Wanita ini mencurahkan pikiran dan tenaga untuk kelestarian lingkungan hidup. Dia melawan arus di mana banyak orang lebih suka bersenang-senang, tetapi justru bersusah payah berbuat untuk masyarakat.
Di sisi lain, Siti Salamah juga memikirkan kaum marginal seperti para pemulung sampah. Pemulung sering dianggap sebagai pengganggu, bahkan juga disingkirkan seperti sampah itu sendiri. Siti Salamah melakukan pendampingan kepada mereka yang berprofesi sebagai pemulung di kota Tangerang Selatan, Banten. Ia mendampingi ribuan pemulung di kawasan Jurang Mangu Timur.Â