Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Ketua RT dan RW adalah Kerabat Lurah

17 Oktober 2021   17:01 Diperbarui: 17 Oktober 2021   17:08 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KKN masih berlangsung hingga sekarang, bahkan sudah sampai ke tingkat terbawah pemerintahan yaitu RT. Di beberapa daerah, budaya KKN justru dipelihara dan bertambah kental.

Sebetulnya tidak usah jauh-jauh ke luar pulau Jawa, di Jabodetabek pun praktik KKN tumbuh subur. Begitu pula di sekitar tempat tinggal saya, sebelah Depok.

Ketika saya pertama pindah dan tinggal di wilayah ini, agak kaget karena mendengar ketua RT tidak bisa membaca dan menulis. Lha, kok bisa menjadi perangkat desa? Usut punya usut ternyata dia adalah kerabat lurah setempat. Bukan hanya dia, ketua RW pun kerabat dekat sang lurah.

Alhasil  pungutan yang diambil dari warga, mengalir ke kantong mereka. Tidak ada kegiatan dan aktivitas yang menguntungkan warga, tapi setiap bulan ada pungutan atau iuran yang ditetapkan tanpa melibatkan warga.

Mengurus KTP dan KK, menurut peraturan pemerintah pusat, sudah gratis. Sayangnya tidak berlaku di tingkat bawah. Kalau tidak ada uang pelicin, KTP maupun KK yang kita minta, baru selesai tiga bulan. Atau bahkan didiamkan sama sekali, menunggu si pemohon memberikan "uang rokok".

Mau melaporkan? Tidak ada yang berani melakukan. Karena sang lurah adalah preman yang sudah menjadi lurah selama puluhan tahun. Dia adalah raja kecil di sini, punya kekuasaan dan kekuatan untuk memaksakan kehendak.

Mengenai bantuan-bantuan dari pemerintah, tidak pernah sampai ke warga. Baik itu bantuan sembako maupun BLT. Kalau dibagikan melalui perangkat desa, menguap begitu saja.

Jangankan bantuan sebelum pandemi, sejak bertahun-tahun lalu tidak ada kabar adanya bantuan pemerintah. Jika ternyata pemerintah pusat menyatakan sudah menyalurkan bantuan, setelah ditelusuri, jatuhnya kepada keluarga RT, RW dan Lurah. 

Data warga memang diambil dari setiap rumah, tetapi tidak pernah ada kelanjutannya. Bahkan ada saja pungutan yang tidak ada kejelasan penggunaan. Rapat-rapat pun hanya tahu hasilnya dari surat edaran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun