Cukup menggelitik cuitan Twitter seorang mahasiswa anggota BEM UI Dzulfian yang mempertanyakan IPK Jokowi ketika kuliah. Tersirat nada menghina dengan menuliskan bahwa ketua BEM UI lulus berpredikat Cum Laude. Sebagaimana diberitakan, BEM UI menjuluki presiden Jokowi sebagai "King of lips service".
Di sini tampak betapa picik dan sempit pemikiran seorang mahasiswa dari universitas negeri ternama. Memang tidak menggambarkan pola pikir mahasiswa secara keseluruhan, tapi mengundang keprihatinan. Agaknya ia telah salah masuk dalam kelompok eksklusif yang membenci Jokowi dalam segala hal.
Mungkin mahasiswa semacam ini tidak memiliki wawasan yang luas atau juga kurang membaca ilmu pengetahuan umum. Orang-orang yang paling sukses di dunia justru bukan dari kalangan akademisi. Gelar maupun tingginya nilai tidak berpengaruh bagi mereka.
Sebut saja orang terkaya di dunia, Jeff Bezos yang memiliki Amazon, atau Mark Zuckerberg sang pendiri Facebook, Jack Ma, pemilik Alibaba, Bill Gates dan sebagainya. Mereka bisa meraih sukses berkat kerja keras dan kreativitas.
Menteri pendidikan nasional, Nadiem Makarim telah jauh-jauh mengingatkan kepada kita. Ini bukan lagi zamannya gelar dan nilai akademis menjadi ukuran bakal sukses dalam kehidupan.
"Kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era dimana akreditasi tidak menjamin mutu. Ini hal-hal yang harus kita sadari," tandas Nadiem Makarim.
Lalu apa hubungan IPK dengan kepresidenan Jokowi? Tidak ada. Jokowi memang naik menjadi presiden bukan karena IPK tinggi.
Pertama, seseorang menjadi pemimpin di suatu negara adalah karena takdir Tuhan. Bahkan daun yang jatuh pun atas kehendak Tuhan. Sesiapa yang menyangkal hal ini patut dipertanyakan kedalaman ilmu agamanya.Â
Kedua, jalan seseorang dalam bidang politik tidak membutuhkan deretan gelar dan ijazah dari universitas terkemuka. Mereka harus merangkak dari bawah, meniti dari lokal, baru merambah ke wilayah yang lebih besar. Di sisi lain, memiliki kendaraan partai dan organisasi massa yang mendukung.
Ketiga, sukses dalam politik karena proses yang berhasil dilalui. Mereka yang sukses harus menang perang. Ibaratnya melewati kawah candradimuka. Bukan dengan teori akademis dan organisasi yang masih  tingkat "kanak-kanak".
Maka lebih baik adik-adik mahasiswa harus belajar membaca. Ingat, pertama kali ditekankan agar "Iqra", membaca. Maksudnya adalah membaca dalam arti luas, membaca perkembangan dari dalam dan luar negeri, membaca keadaan, hingga membaca semesta.Â