Dahulu saya senang betul jalan-jalan setelah Subuh. Tidak ada kata tidur sehabis sahur. Janjian dengan teman-teman bersepeda ke suatu tempat.
Setiap hari, kami bersepeda ke tempat yang berbeda. Waktu itu Depok masih cukup sepi. Bersepeda ramai-ramai di jalan raya terbilang aman, tidak berbahaya.
Kami, teman-teman sepermainan dari lingkungan sekitar, satu er-te dan satu er-we. Dengan tingkatan usia yang berbeda, paling besar kelas satu SMP.
Saya sendiri masih kelas lima SD, tetapi dengan postur tubuh lebih tinggi dari anak perempuan lainnya. Sifat saya yang tomboy membuat kemampuan saya setara dengan anak laki-laki .
Namun yang menjadi ciri khas adalah sepeda yang saya gunakan. Sepeda saya bukan sepeda anak-anak yang bagus dan mahal. Saya memakai sepeda kumo milik bapak yang dibawa dari Yogya.
Ketika itu tak lazim menggunakan sepeda kuno. Kalau saya pakai sepeda itu, diolok-olok anak-anak lain. Mereka menyebut sepeda itu adalah "Honda Yogya". Tapi saya cuek saja, tidak baper diolok-olok seperti itu.
Saya senang memakai sepeda kuno itu karena lebih laju daripada sepeda modern. Kalau sepeda biasa, sekali kayuh hanya jalan dua meter. Sedangkan sepeda saya, sudah melaju sepuluh meter di depan.
Sekali waktu kami berniat ke Sawangan, lumayan jauh dari Depok Jaya. Jalannya juga naik turun. Kami berkumpul di depan masjid, setelah itu berangkat sambil teriak-teriak bersemangat.
Berhubung sepeda saya besar, saya memboncengkan anak yang paling kecil. Kebetulan dia tidak punya sepeda. Toh saya tetap kuat mengayuh.
Seperti biasa sepeda saya melaju kencang, saya di posisi paling depan. Eh, baru separuh jalan teman-teman sudah tak kuat. Mereka menyerah kecapekan karena melewati beberapa tanjakan.
Akhirnya kami tidak jadi sampai ke Sawangan, tapi berbalik lagi ke arah perumnas sambil tertawa-tawa. Ada yang bersepeda paling belakang berteriak takut ketinggalan.Â