Euforia buka puasa bersama selalu terjadi pada awal Ramadan. Tentu saja yang menjadi incaran adalah taman gratis di seputar tempat wisata, misalnya taman yang ada di antara Masjid Sultan Ahmet dan Hagia Sophia, Istanbul.
Ribuan orang akan tumpah ruah ke sana, baik penduduk asli maupun pendatang. Begitu pula dengan  aku, yang sengaja janjian bersama teman-teman dari tanah air. Padahal tempat tinggal ku lumayan jauh dari taman itu.
Rian, menyarankan agar datang pukul lima sore, agar bisa mendapat tempat yang paling enak. Oh ya, Maghrib di sini pukul 18.56 waktu Istanbul. Jika terlambat, maka kami akan kehabisan tempat, tidak bisa gelar tikar.
Celakanya, aku justru yang terlambat datang karena terjebak macet. Naik trem pun selalu penuh sesak. Alhasil aku tiba di taman sudah terlalu banyak orang, bingung mencari dimana mereka.
Aku mencoba menghubungi nomor teman-teman. Herannya, tidak ada yang mengangkat dan menjawab panggilanku. Aku tetap berusaha mencari, sampai mata ini pedih memperhatikan begitu banyak orang. Kemana mereka?
Waktu bergulir dengan cepat. Tahu-tahu langit mulai gelap. Waduh, bagaimana ini, mereka belum bisa ditemukan. Sementara kaki sudah pegal, aku lelah mencari. Lagipula taman sudah padat dengan manusia. Aku pun duduk pasrah di tepi jalan.Â
Mataku nanar menatap layar telepon genggam yang tidak menampakkan tanda-tanda sambung ke nomor teman-teman. Tiga puluh menit lagi Maghrib, semakin putus asa, tak ada harapan.
Arkian, aku membuka tas hendak mengeluarkan bekal makanan untuk berbuka puasa. Tetiba sepasang kaki yang kokoh berdiri di hadapanku. Secara spontan aku mendongak, seorang pria muda tersenyum padaku. Dia mengenakan celana jins biru dengan kaos dan jaket hitam.
"Mau buka puasa bersama saya?" Ia menawarkan. "Di bawah pohon itu saya sudah menggelar tikar, cukup untuk kita berdua."
Bagai kerbau dicocok hidung, aku mengangguk. Entah kenapa aku menurut, mengikuti dia tanpa banyak tanya. Mungkin karena dia lelaki yang menarik, matanya berwarna hijau muda meskipun rambutnya hitam. Dagunya tampak kebiruan karena habis bercukur.
Dia tidak bohong, ada tikar kosong di sebuah pohon. Kanan kiri sudah penuh dengan orang lain, kok dia bisa dapat tempat sendiri? Lelaki itu kemudian mempersilakan duduk.