Tak berapa lama kemudian kereta datang. Kami pun segera meloncat naik. Syukurlah, kami berhasil naik kereta terakhir ini. Soalnya tempat kost cukup jauh, kalau naik taksi pasti mahal sedangkan kami harus berhemat.
Dalam gerbong yang kami naiki, tak ada penumpang lain. Malah gerbong depan dan belakang tak ada penumpangnya.
"Sepi banget, gak ada orang lain," kataku.
"Mungkin semua sudah pulang. Ini malam Jumat," sela Danu.
"Gak juga. Biasanya ada kok penumpang lima sampai sepuluh orang di satu gerbong," jawab Medi. "Kita pindah ke gerbong terdepan yuk, barangkali di sana ada penumpang."
Kami pun berjalan menyusuri beberapa gerbong kosong. Benar kata Medi, ternyata di gerbong terdepan ada beberapa orang sedang duduk. Mereka semua menoleh ketika kami masuk.
Aku merasakan tatapan para penumpang sedingin es. Jantungku berdegup kencang, ah ada apa ini, pikirku. Lalu kami duduk dalam satu deret.Â
Kebetulan aku duduk paling kiri. Ada laki-laki duduk tiga bangku dari tempatku, semula dia hanya menundukkan kepalanya dengan ujung jaket menutupi wajahnya. Tetapi saat aku memperhatikan, tetiba ia menoleh dan menyeringai. Aku terkejut melihat taring yang berlumuran darah.Spontan aku menjerit kecil.Â
"Ada apa mbak?" Medi bertanya.
"Orang itu...," Aku berbisik.
Medi melihat ke arah lelaki yang tadi kuperhatikan. Sayangnya orang itu telah bersikap seperti semula, duduk menundukkan kepalanya, tertutup ujung jaket.