Aku cukup sering bertandang ke pulau B. Adik angkat berasal dari sini, daerah awal adanya martabak yang terkenal. Tapi yang aku suka adalah begitu banyak kelenteng di pulau ini. Beberapa yang terbesar dan terdekat sudah pernah aku datangi, kecuali satu.
Entah kenapa kalau aku lewat kelenteng yang satu ini hatiku deg-degan, meski di siang hari. Padahal kelenteng itu tampak biasa saja, dengan ciri bangunan yang khas. Warna gapura maupun gedungnya didominasi warna merah dan kuning.
Walau bagaimana pun aku adalah penggemar kelenteng. Maksudku, aku suka mengunjungi dan melihat-lihat apa yang ada di dalamnya. Para biksu dan orang-orang yang datang berdoa tidak pernah keberatan. Toh aku juga berusaha tidak mengganggu mereka.
Namun untuk kelenteng yang ini agak berbeda. Aku merasa enggan untuk masuk ke sana. Secara logika memang posisinya tidak menyenangkan, ada di sudut jalan, di sebuah tikungan. Tidak ada halaman untuk parkir, bahkan sulit untuk berhenti secara khusus. Soalnya, di depannya sudah ada lampu merah.
Masalahnya, aku sering melewati jalan itu dengan menggunakan motor. Terutama jika aku ingin ke pantai, akses utama adalah jalan tersebut. Kadang terbersit rasa penasaran untuk mampir sebentar, tapi segan.
Suatu hari aku keasyikan main di pantai. Aku berburu foto terbaik dari tiga pantai yang paralel. Tanpa terasa matahari bergulir dengan cepat di ufuk Barat. Tetiba gelap menyelimuti sekitar ku.
Waduh, ternyata aku pengunjung terakhir yang belum keluar dari pantai tersebut. Aku celingukan mencari penjaga parkir. Mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Ya sudahlah, toh aku sudah membayar parkir motor sebelum masuk.
Tak tahu mengapa aku salah memilih jalan, justru masuk ke hutan dan kebun orang. Mau lihat google map, tak ada sinyal. Dengan susah payah bertanya pada orang-orang desa yang aku temui.
Perut dalam keadaan lapar, akhirnya aku mampir di sebuah warung. Setelah makan dan meneguk secangkir kopi aku minta penjelasan dari pemilik warung. Ia membuatkan sebuah peta sederhana yang bisa menjadi panduan agar menemukan jalan pulang.
Bermodalkan peta itu aku berhasil menemukan jalan utama. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, jalan raya sudah sepi. Aku menyusuri jalan yang melewati kelenteng tanpa berpapasan dengan kendaraan lain.
Tetiba mesin motor mati tepat di depan kelenteng. Aku kaget, apa bensinnya habis? Tapi jarum masih berada di garis dua. Sebetulnya cukup untuk pulang ke rumah. Mungkin busi? Ah, kata adik angkat pemilik motor ini, baru ganti busi dan turun mesin.